BI mempertahankan kebijakan bias ketat



JAKARTA. Penyakit fundamental Indonesia yaitu defisit transaksi berjalan yang telah terjadi sejak triwulan terakhir 2011 belum bisa diobati. Defisit transaksi berjalan yang masih mendera Indonesia menjadi salah satu alasan otoritas Bank Indonesia (BI) terus bertahan dengan kebijakan moneter ketat.

Perbaikan defisit tidak bisa terjadi dalam waktu dekat. Bahkan, BI melihat defisit transaksi berjalan yang tinggi akan terjadi hingga 2017. Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan defisit transaksi berjalan pada tahun ini, 2016, dan 2017 diperkirakan masih akan defisit dengan level kisaran 3%.

Yang menjadi penyebab defisit tinggi adalah neraca pendapatan dan jasa. Data terakhir 2014, defisit neraca jasa adalah US$ 10,53 miliar, turun dari tahun sebelumnya yang sebesar US$ 12,07 miliar. Untuk neraca pendapatan yaitu pendapatan primer tercatat defisit US$ 27,82 miliar.


Dalam hal ini pun, dengan adanya pembangunan infrastruktur akan menyebabkan impor barang modal melonjak dan menahan laju perbaikan neraca transaksi berjalan. Menurut Agus, BI ingin mengarahkan defisit transaksi berjalan ke level yang lebih sehat yaitu 2,5%-3%.

Karena itu, "BI akan terus mempertahankan kebijakan cautious (berhati-hati) tapi bias ketat agar transaksi berjalan mengarah ke yang lebih sehat," ujarnya akhir pekan lalu.  Pasalnya, neraca transaksi berjalan yang defisit menjadi salah satu penyebab nilai tukar rupiah tertekan.

Ini artinya, BI akan cenderung untuk terus mengandalkan kebijakan bias ketat dengan suku bunga tinggi. Mantan Menteri Keuangan ini menjelaskan, upaya pemerintah yang akan menggelontorkan paket kebijakan untuk menekan defisit transaksi berjalan seperti membuat reasuransi dalam negeri adalah usaha yang baik. 

Bank sentral akan terus berupaya mengarahkan transaksi berjalan ke level sehat melalui koordinasi dengan pemerintah. Sekedar mengingatkan, ada beberapa kebijakan pemerintah untuk menekan defisit transaksi berjalan yang dijadwalkan akan efektif berjalan pada minggu ini. Di antaranya adalah pertama, penerbitan PMK untuk Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) Sementara dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) Sementara. Barang impor yang terkena tuduhan dumping akan dikenakan kewajiban membayar bea masuk untuk sementara, meskipun belum ada putusan resmi dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) atau Komite Pengamanan perdagangan Indonesia (KPPI).

Kedua, revisi PP Nomor 52 Tahun 2011 tentang fasilitas pengurangan pajak penghasilan (PPh) atau tax allowance. Perusahaan yang mengekspor minimum 30% dari total produksi akan mendapatkan pengurangan PPh. Perusahaan yang melakukan reinvestasi juga mendapat pengurangan PPh. Ketiga, meningkatkan porsi biodiesel dari 10% menjadi 15%.

Keempat, pendirian badan usaha milik negara (BUMN) di bidang reasuransi untuk mengurangi penggunaan reasuransi asing. Kelima, memperlancar remitansi atau jumlah kiriman uang dari tenaga kerja Indonesia (TKI). Keenam, akses bebas visa kepada empat negara untuk mendongkrak kunjungan wisatawan asing ke Indonesia yaitu Cina, Korea, Jepang, dan Rusia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia