KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia berupaya untuk meneyempurnakan kebijakan moneter, salah satunya melalui Implementasi Giro Wajib Minimun (GWM). Dengan ini, bank diharapkan leluasa mengelola likuiditasnya. Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Dody Budi Wauyo mengatakan, sebelumnya GWM di bagi pada tiga jenis yakni GWM primer sebesar 6,5%, Sekunder 4,0% dan LFR. Namun, mulai tanggal 1 Juli 2018, hanya ada GWM Primer yang besarannya 6,5% dan dibagi menjadi dua jenis, yakni harian sebesar 5% dan rata-rata 1,5%.
Dody menambahkan, tujuan dari penyempurnaan tersebut ditujukan untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter dan mendukung stabilitas makroekonomi. “Dengan adanya fleksibilitas tersebut, perbankan akan lebih luas mengelola likuiditasnya,” ujarnya saat ditemui di Gedung BI, Kamis (5/4). Dody melanjutkan, dengan adanya penyempurnaan ini, diharapkan dapat mendorong intermediasi perbankan guna mendukung pembiayaan ekonomi. Dengan fleksibelnya likuiditas yang dimiliki perbankan, diharapkan perbankan bisa menempatkan dananya ke instrumen lain untuk membantu pendalaman pasar keuangan. “Sehingga mereka pada akhirnya memeperoleh
return yang lebih baik. Efektif atau tidaknya tergantung pengelolaan treasury dari perbankannya itu sendiri,” imbuhnya. Dalam rilis resminya, BI menjelaskan, penyempurnaan kebijakan moneter dan makroprudensial ini diterbitkan dalam dua Peraturan Bank Indonesia (PBI). Keduanya adalah PBI No.20/3/PBI/2018 tentang Giro Wajib Minimum (GWM), serta PBI No.20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah (BUS), dan Unit Usaha Syariah (UUS). Penyempurnaan GWM rata-rata ditujukan untuk semakin meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas oleh perbankan, mendorong fungsi intermediasi perbankan, dan mendukung upaya pendalaman pasar keuangan. Di PBI GWM yang diatur antara lain, pertama, penambahan porsi GWM dalam rupiah rata-rata bagi BUK dari 1,5% menjadi 2% dari keseluruhan kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah bagi BUK sebesar 6,5%. Kedua, pemberlakuan GWM dalam valas rata-rata bagi BUK sebesar 2% dari keseluruhan kewajiban GWM dalam valas bagi BUK sebesar 8%. Ketiga, pemberlakuan GWM dalam rupiah rata-rata bagi BUS dan UUS sebesar 2% dari keseluruhan kewajiban GWM dalam rupiah bagi BUS dan UUS sebesar 5%. Nah, sejatinya, aturan GWM loan to funding ratio (LFR) dan GWM Sekunder tak dihilangkan, tapi disempurnakan. Keduanya menjadi RIM dan PLM.
Menggantikan LFR, dalam ketentuan yang diterbitkan, ditetapkan RIM dengan target kisaran 80%-92%, untuk perbankan dan unit syariahnya. Juga memperluas komponen kredit atau pembiayaan yang memasukkan surat-Surat Berharga (SSB) yang dibeli oleh bank. Selain itu, BI memperluas komponen simpanan dengan memasukkan SSB yang diterbitkan oleh bank syariah. Sedangkan PLM merupakan penyempurnaan dari GWM Sekunder yang dipenuhi dalam bentuk surat berharga dalam rupiah yang dapat digunakan dalam operasi moneter. PLM ditetapkan dengan besaran 4% dari Dana Pihak Ketiga (DPK). Terdapat penyempurnaan dari GWM Sekunder dengan adanya fleksibilitas di dalam PLM, yaitu dalam kondisi tertentu, surat berharga dalam perhitungan PLM dapat digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi pasar terbuka paling banyak sebesar 2% dari DPK. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia