JAKARTA. Berbagai tekanan baik dari sisi domestik ataupun eksternal masih belum reda. Stabilitas nilai tukar dan inflasi menjadi dua poin penting bagi Bank Indonesia (BI) untuk tetap berpegang pada kebijakan ekonomi moneter bias ketat. Sejumlah ekonom yang dihubungi KONTAN, Jumat (10/4), memperkirakan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan BI Selasa besok (14/4), BI rate atawa suku bunga diperkirakan akan tetap dipertahankan pada level 7,5%. Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan fokus dari BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi. Pada Maret lalu, terlihat volatilitas rupiah lebih besar dibanding Februari. Sekalipun saat ini level rupiah sudah cenderung berada di bawah Rp 13.000 per dollar Amerika Serikat (AS), volatilitas masih akan berlangsung.
Pada Mei dan Juni akan terjadi pembayaran dividen dan utang luar negeri (ULN). Rupiah akan tertekan karena permintaan terhadap dollar AS akan melonjak. Belum lagi ditambah gejolak eksternal dengan isu kenaikan suku bunga Amerika dan utang Yunani. "Rupiah ke arah RP 13.200 tinggi di Mei dan Juni. Ini salah satu upaya BI dalam hal intervensi," ujar Josua, Jumat (10/4). BI masih perlu mempertahankan suku bunganya dalam level tinggi. Otoritas moneter ini juga tidak bisa melakukan intervensi yang dalam dengan menggelontorkan cadangan devisa. Pundi cadangan devisa sudah tergerus lumayan dalam yaitu US$ 3,95 miliar menjadi US$ 111,55 miliar pada akhir Maret karena pembayaran ULN pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah. Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih berpendapat, BI masih perlu mempertahankan suku bunganya karena ada potensi inflasi naik karena harga bahan bakar minyak (BBM) yang naik pada bulan Maret.