BI-Rate Ditahan 4,75%, BI Beri Sinyal Lebih Prioritaskan Stabilitas Rupiah



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan suku bunga acuan dibaca pasar sebagai sinyal kuat BI memprioritaskan stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian global, meski konsekuensinya ruang stimulus bagi pemulihan permintaan domestik menjadi lebih terbatas.

Untuk diketahui, Bank Indonesia memutuskan untuk menahan suku bunga acuan atau BI Rate di level 4,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Edisi Desember 2025. 

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menekankan, dampak keputusan BI terhadap rupiah utamanya bekerja lewat dua saluran utama, yaitu selisih imbal hasil aset rupiah dibanding aset dolar AS, serta persepsi pasar atas prioritas stabilitas.


Baca Juga: Sido Muncul (SIDO) Catat Kinerja Positif hingga September 2025, Cek Rekomendasinya

Dengan BI yang menahan suku bunga di 4,75% ini, sinyal yang terbaca pasar adalah BI sedang menempatkan stabilitas rupiah sebagai jangkar utama di tengah kehati-hatian investor global.

“Penahanan suku bunga menjaga selisih imbal hasil agar tidak cepat menyempit, sehingga membantu menahan tekanan keluar-masuk dana asing jangka pendek dan meredakan kebutuhan penyesuaian nilai tukar yang terlalu tajam,” ujar Josua kepada Kontan, Rabu (17/12/2025).

Namun, konsekuensi dari penahanan suku bunga ini lebih kepada dorongan pemulihan permintaan domestik dan penurunan biaya kredit yang cenderung lebih terbatas, apalagi bila penurunan suku bunga acuan belum cepat menular ke suku bunga kredit perbankan.

Seperti yang diketahui, mata uang rupiah masih berada dalam fase tekanan di sepanjang tahun 2025 ini. Tapi Josua bilang, prospek penguatan rupiah pada tahun 2026 masih terbuka walaupun sifatnya bertahap dan terbatas, bukan penguatan yang lurus tanpa gangguan.

Pendorongnya yakni proyeksi penurunan suku bunga bank sentral AS pada 2026 biasanya menurunkan imbal hasil obligasi AS dan melemahkan indeks dolar AS, sehingga selera risiko global berpotensi membaik dan arus dana kembali masuk ke negara berkembang.

Dari sisi domestik, peluang penguatan rupiah akan lebih besar bila inflasi tetap rendah dan stabil, neraca pembayaran membaik, cadangan devisa meningkat, serta arus investasi langsung tetap kuat seiring berjalannya proyek-proyek investasi dan perbaikan kepastian kebijakan.

Namun pasar juga akan membatasi ruang penguatan bila membaca arah kebijakan fiskal dan moneter terlalu longgar secara bersamaan, karena hal itu bisa meningkatkan kebutuhan pembiayaan pemerintah, memperbesar persepsi risiko, dan pada akhirnya menahan arus modal masuk.

Selain itu, normalisasi harga komoditas dan kecenderungan defisit transaksi berjalan yang sedikit melebar ketika impor menguat untuk mendukung pertumbuhan dapat membuat rupiah tetap sensitif.

Dengan begitu, pada tahun 2026 Josua memperkirakan rupiah akan menguat moderat dibanding akhir 2025, dengan kisaran nilai tukar pada akhir 2026 di sekitar Rp 16.200 – Rp 16.400 per dolar AS.

Baca Juga: Gelar RUPSLB, Timah (TINS) Ubah Anggaran Dasar hingga Ganti Direktur

Proyeksi ini mencerminkan asumsi arus modal berangsur membaik seiring pelonggaran suku bunga global, tetapi ruang penguatan tetap dibatasi oleh risiko domestik seperti kebutuhan pembiayaan defisit, potensi pelebaran defisit transaksi berjalan, dan normalisasi komoditas.

“Artinya, skenario penguatan ke bawah Rp 16.000 memerlukan kombinasi yang cukup kuat, yaitu sentimen global sangat mendukung dan kredibilitas kebijakan domestik sangat meyakinkan,” pungkasnya.  

Selanjutnya: Sido Muncul (SIDO) Catat Kinerja Positif hingga September 2025, Cek Rekomendasinya

Menarik Dibaca: Daftar Menu Makanan untuk Diet IF Pemula yang Layak Dicoba

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News