BI rate naik, rupiah belum aman



JAKARTA. Kemarin, Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan (BI rate) sebesar 50 basis poin menjadi 6,5%. Kebijakan ini diambil sebagai upaya BI untuk mempertahankan nilai rupiah yang terus terpuruk di hadapan dollar Amerika Serikat (AS).  Meski demikian, para analis berpendapat, kebijakan tersebut belum akan efektif menyelematkan pamor rupiah. Reny Eka Putri, analis Bank Mandiri, melihat, BI memang menaikkan BI rate untuk menguatkan rupiah. Tapi, akar masalah yang membuat rupiah terpuruk sejatinya bukan cuma urusan bunga. Menurut Reny, pasar lebih mencemaskan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia dan ancaman inflasi yang tinggi. Belum lagi, neraca perdangan Indonesia terancam defisit akut. Kabar dari eksternal juga tak terlalu menguntungkan. Reny mengingatkan, data perekonomian China yang muncul akhir-akhir ini justru menunjukan sinyal pelemahan. Jika perekonomian China melemah, otomatis ekspor negeri tersebut menurun. Efeknya sudah jelas: permintaan China kepada negara-negara pemasok komoditas seperti Indonesia berkurang. Ujungnya, pertumbuhan ekonomi negeri kita akan kembali terganggu. Nah, hal ini akan membuat sentimen negatif bertiup semakin kencang di pasar.Buktinya sudah bisa dilihat. Meskipun, bank sentral telah mengerek BI rate, rupiah tetap melemah. Jumat (12/7), menurut data kurs tengah BI, rupiah kembali melemah ke level Rp 9.980 per dollar AS (USD) dari posisi Kamis (11/7) yang masih ada di angka Rp 9.979 per dollar AS.Lukman Leong, Chief Analyst Platon Niaga Berjangka, melihat, manfaat kenaikan BI rate juga lebih bersifat jangka pendek. Ia menduga, langkah itu merupakan upaya BI untuk mencegah kepanikan di pasar dan aksi spekulasi. "Pasalnya, upaya-upaya intervensi langsung baik yang steril maupun non-steril  tidak begitu efektif meredam gejolak rupiah dan dikhawatirkan ini bisa mengundang spekulan seperti yang terjadi pada krisis finansial Asia 1997 lalu," ujarnya.Menebak kebijakan BI selanjutnyaJika mencermati kondisi ini, Reny menduga, selanjutnya, para pejabat bank sentral akan cenderung mengambil sikap wait and see. Soalnya, di sisi sentimen eksternal, rencana pembatasan stimulus oleh The Fed atau bank sentral AS juga belum jelas juntrungannya. Di sisi lain, kini, dollar AS kembali menjadi safe haven sehingga nilainya terus menguat.Reny memprediksi, jika kenaikan BI rate dan bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (Fasbi) belum efektif,  barulah BI akan mengeluarkan kebijakan lain. Catatan saja, kenaikan BI rate kemarin juga diiringi oleh kenaikan bunga Fasbi sebesar 50 basis poin menjadi 4,75%. Reny menduga, BI akan mencermati posisi inflasi pasca lebaran, yaitu periode Agustus - September. Jika pada periode tersebut pasokan bahan pangan bisa dikontrol sehingga inflasi lebih rendah dibanding periode Juli, Reny meramal, BI rate bisa tetap berada di level 6,5% hingga akhir tahun. Catatan saja, di bulan Juli ini, BI memprediksi,  inflasi bulanan bisa mencapai 2,03%. Tapi, jika pasokan bahan pangan tetap kurang, kemungkinan besar, BI akan kembali menaikkan BI rate sebesar 50 basis poin hingga akhir tahun demi meredam kenaikan IHK (Indeks Harga Konsumsi) yang menjadi basis penghintung inflasi.Ya, kini, inflasi memang menjadi momok yang wajib diwaspadai secara ekstra. Lukman menilai, gabungan inflasi tinggi, tren penguatan dollar AS di pasar global, dan penurunan harga komoditas (yang menyebabkan ekspor merosot), berpeluang terus menggerus nilai tukar rupiah.  “Dalam jangka panjang, rupiah bisa melemah ke level Rp 11.000 dollar AS," ujar Lukman.Kesimpulannya, selain lewat instrumen bunga dan instrumen moneter lain, pemerintah perlu menempuh kebijakan yang lebih fundamental untuk menggejot ekonomi dan ekspor. Di saat yang sama, pemerintah harus bisa membereskan distribusi dan pasokan barang-barang pokok agar inflasi tak berlari terlalu kencang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Cipta Wahyana