BI rate tetap, bunga kredit bakal menanjak



JAKARTA. Bank Indonesia (BI) kembali mempertahankan bunga acuan atau BI rate di 6, 75%. Padahal ada peluang BI rate turun, sayang BI tak memanfaatkannya.

Lihat saja, kinerja perekonomian domestik membaik, neraca pembayaran kuartal III-2011 bakal surplus, nilai tukar rupiah stabil, dan inflasi terkendali. Industri perbankan juga stabil. Dampak penurunan peringkat utang AS, pun belum terasa di pasar keuangan. Bahkan menurut Difi A Johansyah, Kepala Biro Humas BI, Selasa (9/8), Juni 2011, pertumbuhan kredit mencapai 23,6%.

Sayang, modal ini tak dimanfaatkan BI untuk menggunting bunga acuan. Padahal harapannya, perbankan akan menurunkan bunga kredit bila bunga acuan turun. Penurunan bunga ini juga salah satu upaya mencegah banjir uang panas di Tanah Air.


Wajar bila bankir belum hendak menurunkan bunga kredit. Bahkan sebaliknya. Berdasarkan survei BI, pada kuartal III-2011 suku bunga kredit rupiah dan valas bergerak naik. Penyebabnya, biaya dana (cost of fund) dan biaya penyaluran kredit (cost of loanable fund) membengkak.

Sejumlah bank kelas kakap memang mencatatkan penurunan cost of fund, lantaran likuiditas melimpah dan pertumbuhan dana pihak ketiga melambat. Tapi, sebagian besar bank sebaliknya.

Survei BI menunjukkan, di kuartal III-2011 biaya dana rupiah naik menjadi 6,17% ketimbang kuartal I sebesar 5,95%. Biaya penyaluran kredit meningkat dari 8,05% ke 8,73%, biaya dana valas tumbuh dari 1,27% menjadi 1,33% dan biaya penyaluran kredit naik dari 2,5% menjadi 3,03%.

Wakil Presiden Direktur Utama Bank CIMB Niaga Catherine Hadiman menilai, ada kecendrungan bunga kredit di semester II-2011 naik. Ini antisipasi kenaikan BI rate yang bersumber dari kenaikan inflasi. "Kenaikannya antara 0,25%-0,5%,tetapi ini opsi terakhir setelah efisiensi," ujarnya baru-baru ini.

Rudy N. Hamdani, Direktur Consumer Banking Bank OCBC NISP, punya pendapat lain. Perbankan tetap akan mempertahankan bunga kredit karena yakin BI mampu mengendalikan inflasi. Bahkan bunga kredit berpeluang turun, imbas persaingan dan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK).

Pengamat ekonomi Paul Sutaryono menilai, perbankan tak beralasan menaikkan bunga kredit. Alasan biaya dana membengkak tak tepat. "Itu seharusnya dibebankan pada biaya dana di kuartal II lalu," ujarnya. Sekadar mengingatkan, Februari 2011, BI menaikkan BI rate 0,25%. Lalu di Juni, BI mendongkrak giro wajib minimum (GWM) valas.

BI seharusnya menerapkan benchmarking biaya dan margin, setelah ada indikasi bunga kredit naik. Laporan keuangan per Juni mencatat netinterestmargin (NIM) di beberapa bank naik. Artinya, bank mengambil laba terlalu besar. "Jika NIM dibatasi, bunga kredit turun, sektor riil makin terbantu," imbuh Paul.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie