JAKARTA. Kemarin (4/2), Bank Indonesia (BI) kembali menggunting suku bunga acuan (BI
rate) sebesar 0,5% sehingga menjadi 8,25%. Setelah bunga turun, harga Surat Utang Negara (SUN) bergerak naik. Berdasarkan data
Bloomberg, harga SUN seri FR0036 yang bertenor 10 tahun mencapai 97,03 kemarin, naik dari 96,88 sehari sebelumnya. Imbal hasil (yield) SUN acuan ini pun turun dari 12,023% menjadi 11,997%. Sementara, harga SUN FR0051 yang bertenor lima tahun naik dari 100,38 menjadi 100,70. Analis Obligasi Trimegah Securities Heru Helbianto mengatakan, teorinya, penurunan BI
rate memang berimbas positif bagi SUN. "Penurunan BI
rate mengindikasikan inflasi terkendali. Ini juga akan menurunkan
yield SUN," ujarnya.
Meski akan turun, Heru menilai
yield SUN masih akan menarik. Ia membandingkan, bunga deposito memang masih 12% saat ini, tapi tak ada yang bisa memastikan bunga itu bakal sama beberapa bulan lagi. "
Yield SUN memang akan makin rendah seiring penurunan BI
rate, tapi angkanya lebih stabil," imbuhnya. Analis Obligasi Danareksa Sekuritas Budi Susanto juga menilai, SUN tetap menarik kendati harganya mulai naik. Sebab, masih ada potensi
capital gain alias keuntungan dari kenaikan harga. "Nantinya,
yield akan mengikuti BI
rate, jadi ada pengaruh ke harga," ujarnya. Jika
yield turun, harga SUN akan naik. Tak sesuai teori Pengaruh penurunan bunga itu seharusnya lebih terasa pada SUN berjangka panjang. Dan, investor lebih bisa memaksimalkan capital gain SUN ini karena jangka waktunya panjang. Sayang, kini orang lebih tertarik instrumen jangka pendek dan menengah karena ketidakpastian masih tinggi. Karenanya, Budi melihat penurunan BI rate tak belum akan membuat investor asing masuk lagi ke pasar SUN Indonesia. Ia memperkirakan, investor baru akan mengoleksi SUN jangka panjang kalau situasi keuangan sudah lebih stabil. "Sekarang, pengaruhnya adalah bagaimana nasib ekonomi Amerika Serikat dan Eropa," tandasnya. Ekonom Standard Chartered Bank Eric Alexander Sugandi lebih tegas lagi menyatakan yang terjadi sekarang sudah tidak sesuai dengan teori. Harga SUN tak langsung naik meski bunga turun cukup besar. Biang keroknya adalah fenomena yang bernama
deleveraging. Ini adalah lawan dari
leveraging. Gampangnya, banyak perusahaan yang cenderung menarik investasi dan mengamankan posisinya akibat likuiditas dolar AS semakin ketat dan kerugian akibat krisis finansial global.
Maka, meski sebenarnya saat ini adalah saat yang tepat untuk masuk ke SUN, asing tak melakukan pembelian dengan agresif. "Mereka tidak akan masuk secara masif, mereka akan masuk secara bertahap," tandas Eric. Selain itu, lemahnya rupiah juga membuat investor ragu-ragu. "Tak ada premi risiko yang setimpal untuk memiliki obligasi bermata uang Asia," kata Desmond Soon, Vice President DBS Asset Management Ltd kepada
Bloomberg. Soon mengakui, pemain lokal akan menilai obligasi menarik setelah bunga turun dan nilai tukar merosot. "Tapi bagi asing, situasinya beda," imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie