JAKARTA. Pekan lalu, Bank Indonesia (BI) secara resmi menurunkan suku bunga alias BI rate 25 basis poin (bps) menjadi 7,5%. Para analis menilai, ini menjadi sentimen positif bagi emiten properti. Maklum saat BI rate turun, emiten bank akan mengekor menurunkan suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR). Terbukti sehari setelah pengumuman penurunan BI rate ini, indeks saham sektor properti menguat 3,17%. Rizky Hidayat, Analis Mandiri Sekuritas, mengatakan, penurunan BI rate ini tak serta-merta langsung mengangkat kinerja emiten properti. "Efeknya baru akan terasa jika bank-bank menurunkan bunga KPR," kata dia.
Thendra Crisnanda, Analis BNI Securities, menambahkan, perbankan mungkin baru menurunkan suku bunga antara tiga sampai enam bulan pasca pengumuman BI rate. Ia memprediksi, perbankan akan menurunkan suku bunga KPR di kisaran 50-100 bps. Thendra dan Rizky memproyeksikan, penurunan BI rate ini menandakan langkah awal keadaan properti dalam negeri lebih membaik dibandingkan tahun lalu yang terganjal pemilu. Kebijakan penurunan suku bunga acuan tersebut juga akan mendorong konsumen membeli properti. Rizky bahkan memprediksi, tahun ini para emiten properti bisa meningkatkan hasil pra penjualan alias marketing sales para emiten properti antara 10%-15%. Hal tersebut nampak dari emiten properti yang ekspansif meluncurkan proyek baru di tahun ini dibanding tahun lalu. "Demand dan supply di tahun ini membaik," proyeksi Rizky. Apalagi, para pengembang juga akan kembali menaikkan harga jual properti sekitar 10%
year on year (yoy). Nah siapakah emiten yang bakal meraih manfaat dari penurunan suku bunga acuan ini. Para analis memproyeksikan, hampir semua pengembang properti bisa mencicipi penurunan BI rate. Terutama emiten seperti PT Pakuwon Jati Tbk (
PWON), PT Ciputra Development Tbk (
CTRA), PT Summarecon Agung Tbk (
SMRA) dan PT Bumi Serpong Damai Tbk (
BSDE). "Saat ini hampir semua pengembang menerima kredit KPR," jelas Thendra. Pajak barang mewah Prospek emiten properti juga bakal semakin mentereng, karena keadaan ekonomi dan politik lebih kondusif. Namun, kebijakan pemerintah justru bisa menghambat laju bisnis properti. Salah satunya, pemberlakuan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) pada rumah. Suria Dharma, Analis Buana Capital, dalam riset 3 Februari 2015, mengatakan, ada tambahan pajak 5% bagi rumah yang memiliki nilai bangunan dan tanah lebih dari Rp 10 miliar dan memiliki luas lebih dari 500 meter persegi (m²). Kebijakan tersebut juga akan dikenakan terhadap apartemen atau kondominium, yang memiliki nilai transaksi lebih dari Rp 10 miliar dan luas lebih dari 400 m².
Suria menilai, kebijakan tersebut dapat berpengaruh buruk bagi
BSDE. "PPnBM ini akan berdampak pada beberapa proyek baru
BSDE," tulis dia. Seperti rumah mewah di kluster perumahan deMaja dan Sheffield. Kendati demikian, Thendra menilai, di tahun ini prospek properti masih menarik. Penjualan perusahaan properti berpotensi tumbuh. Apalagi bagi emiten properti yang memiliki porsi recurring income lebih besar, kinerjanya akan tumbuh lebih besar. Sebab emiten properti bisa meningkat tajam berkat pendapatan di luar penjualan rumah atau apartemen. Emiten tersebut seperti
PWON dan PT Lippo Karawaci Tbk (
LPKR). Kedua emiten ini memiliki porsi recurring income masing-masing 48% dan 50%. Sementara
BSDE,
SMRA dan
CTRA memiliki porsi recurring income 20%-30%. "Setidaknya porsi
recurring income terhadap pendapatan 50% sehingga bisa saling menopang jika salah satu sektor pertumbuhannya melambat," ujar Thendra. Namun analis menilai, rupiah yang terus melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) bisa membuat emiten properti tertekan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa