BI: Rupiah sentuh Rp 14.000 di tengah optimisme global



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah kembali perkasa. Mengutip Bloomberg, pada Senin (7/1) pukul 14.45 WIB, rupiah ada di level Rp 14.090 per dollar Amerika Serikat (AS) atau menguat 1,26% dari penutupan akhir pekan lalu yang ada di level Rp 14.270 per dollar AS.

Bila menilik data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah ada di level Rp 14.105 per dollar AS, menguat 1,7% dibanding akhir pekan lalu yang ada di level Rp 14.350 per dollar AS. 

Penguatan rupiah terjadi di tengah situasi pasar keuangan global yang diwarnai optimisme atas prospek hasil negosiasi kesepakatan sengketa dagang Amerika Serikat (AS) dan China. Serta perubahan sikap The Fed tas lintasan suku bunga AS ke depan.


"Tidak seperti sebelumnya yang tegas akan menaikkan suku bunga dua kali di 2019, paska jatuhnya harga saham di AS, kali ini The Fed menyiratkan lebih fleksibel dan akan menunggu perkembangan data ekonomi ke depan," jelas Nanang Hendarsah, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) melalui keterangan tertulis, Senin (7/1).

The Fed, kata Nanang, siap melakukan perubahan dalam kebijakan suku bunga ke depan dan dan mulai melunak atas rencana proses penarikan likuiditas dari sistem keuangan.

Sebagaimana diketahui, sebagai bagian dari proses normalisasi kebijakan moneter pasca krisis 2018, sejak Desember 2017 The Fed dalam proses melepaskan kembali surat surat berharga yang diterbitkan swasta. Sebelumnya, surat berharga tersebut dibeli The Fed untuk mengatasi krisis keuangan 2008/2009.

Artinya tengah terjadi penarikan likuiditas dari sistem keuangan.  Surat berharga milik swasta yang ada pada neraca The Fed sampai saat ini baru turun ke US$ 3,86 triliun per Januari 2018, dari US$ 4,2 triliun yang bertahan sejak Januari 2014. 

"Bila penarikan likuiditas dari sistem keuangan dilakukan terlalu cepat maka dapat menimbulkan keketatan dollar di seluruh dunia," jelas Nanang.

Meski kondisi ekonomi AS semakin solid, namun diperkirakan tidak akan tetap kuat menahan pelemahan ekonomi global bila ekonomi Eropa, Jepang, dan China semakin kehilangan tenaga.

Memang data ekonomi AS terakhir masih menunjukkan kondisi yang solid. Namun, sektor industrinya mulai melemah, terindikasi dari penurunan indeks Purchasing Manager Index (PMI) dan ISM (Institute of Supply Management).

"Bahkan berbagai indikator manufaktur di Eropa dan China semakin menunjukkan kemerosotan sebagai indikasi perang dagang mulai menimbulkan efek negatif," jelas dia.

Sentimen positif dari kesepakatan perang dagang, perubahan sikap The Fed, dan berbagai perkembangan data ekonomi  tersebut mendorong terjadinya pelemahan nilai tukar dollar AS secara menyeluruh, penguatan indeks saham global dan kenaikan yield US Treasury.

BI tetap memberikan ruang bagi rupiah untuk menguat, dan mengawal penguatan tersebut termasuk dengan membuka lelang Domestic Non-deliverable Forward (DNDF) dan dilanjutkan dengan intervensi bilateral melalui delapan broker secara firm.

Meningkatnya aktivitas BI di pasar DNDF, selain untuk memastikan kurs offshore NDF terkendali, juga sebagai dukungan penun bagi berkembangnya pasar DNDF agar lebih likuid dan efisien.

Sudah terdapat 13 bank yang aktif di pasar interbank DNDF, sejumlah investor asing bertransaksi untuk hedging investasi di saham, dan sejumlah korporasi termasuk satu BUMN sudah melakukan transaksi. Selain dalam dollar AS, transaksi DNDF nasabah juga sudah ada yang melakukan dalam yen dan euro.

"Bila transaksi DNDF ini terus berkembang dan banyak digunakan untuk hedging makan akan membantu men-smoothing pembelian valas di dalam negeri, sehingga rupiah bisa lebih stabil," pungkas Nanang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi