BI Sebut Pedagang Harus Terima Tunai dan Non-Tunai, Praktisi: Kuncinnya di Fitur



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Praktisi keuangan digital sekaligus Direktur Utama PT Trans Digital Cemerlang (TDC) Indra menyambut positif penegasan Bank Indonesia (BI) yang mengharuskan para pedagang untuk menerima pembayaran baik tunai maupun non-tunai.

Menurut Indra, keberhasilan penerapan kedua model pembayaran tersebut sangat bergantung pada fitur yang disediakan oleh aplikasi pembayaran digital.

"Ada aplikasi yang hanya mendukung pembayaran cashless, sehingga menyulitkan bagi mereka yang ingin membayar secara tunai. Sebaliknya, ada juga aplikasi seperti Posku Lite dengan fitur Kasirku yang memungkinkan pengguna menerima pembayaran secara fleksibel, baik melalui tunai, QRIS, maupun transfer bank," ujar Indra dalam keterangannya, Senin (21/10).


Baca Juga: Volume Transaksi BTN Mobile Melesat 160%, Per September 2024 Capai Rp 60 Triliun

Indra menambahkan bahwa dengan adanya fitur yang fleksibel tersebut, proses pembayaran menjadi lebih mudah dan memberikan banyak pilihan bagi konsumen.

Pembeli yang ingin membayar tunai maupun yang lebih menyukai transaksi digital dapat dilayani dengan baik.

Hal ini, menurutnya, juga dapat mengurangi risiko gagalnya transaksi jual beli karena fitur aplikasi yang mendukung berbagai metode pembayaran.

"Dalam Posku Lite, sudah terdapat fitur untuk menghitung kembalian bagi pembayaran tunai, sehingga dapat meminimalisir kesalahan dalam pengembalian uang," tambahnya.

Selain itu, Indra menyatakan dukungan penuh terhadap kampanye Bank Indonesia (BI) dalam mendorong penggunaan QRIS.

Ia yakin bahwa penggunaan kode QR standar nasional ini membawa banyak manfaat baik bagi pedagang maupun konsumen.

"Banyak keuntungan yang didapat, seperti transaksi yang cepat, mudah, tidak memerlukan uang tunai, aman, serta menghindari risiko pencatatan manual dan uang palsu. Namun, kampanye ini harus terus digalakkan, tidak hanya oleh BI, tapi juga oleh agregator merchant dan pihak terkait lainnya, karena perubahan ini membutuhkan proses," ujarnya.

Baca Juga: Transaksi Digital Dorong Inklusi Keuangan dan Perkembangan Industri Karet

Sementara itu, pakar hukum dan konsultan keuangan, Hendra Agus Simanjuntak, menekankan bahwa digitalisasi pembayaran juga memperkuat perlindungan hukum bagi pembeli dan pedagang, khususnya dalam mengatasi peredaran uang palsu.

"Baik pembeli maupun pedagang sangat rentan menjadi korban dari uang palsu," jelasnya.

Hendra juga menyoroti bahwa perusahaan penyedia sistem pembayaran umumnya telah dilengkapi dengan sertifikasi ISO 27001:2022 tentang Sistem Manajemen Keamanan Informasi dan ISO 37001:2016 tentang Sistem Manajemen Anti-Penyuapan.

Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan sudah mempersiapkan diri sejak awal untuk mencegah penyalahgunaan dalam transaksi digital, termasuk melalui QRIS.

Sebelumnya, BI melalui Deputi Gubernur Doni Primanto Joewono menegaskan bahwa semua pedagang wajib menerima pembayaran dalam bentuk uang tunai.

Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yang melarang penolakan pembayaran dengan rupiah.

Baca Juga: Koneksi Internet Stabil Jadi Kunci Penggunaan QRIS di Indonesia

"Dalam prinsipnya, baik tunai maupun non-tunai hanyalah metode pembayaran, tetapi tetap menggunakan rupiah," jelas Doni pada konferensi pers di Jakarta Pusat, Rabu, 16 Oktober 2024.

Meski BI mendorong digitalisasi sistem pembayaran melalui layanan seperti QRIS, Doni tetap menegaskan pentingnya penerimaan uang tunai dan menyebut bahwa BI masih terus mencetak uang kertas berkualitas.

Saat ini, skema pembayaran non-tunai, khususnya melalui QRIS, terus mengalami pertumbuhan pesat. Pada triwulan III 2024, transaksi menggunakan QRIS tercatat meningkat hingga 209,6% secara tahunan (YoY).

Sementara itu, jumlah pengguna QRIS mencapai 53,3 juta, dan jumlah merchant yang terdaftar sebanyak 34,23 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto