JAKARTA. Bank Indonesia (BI) siap meladeni perusahaan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas yang tidak mau mengirim devisa hasil ekspor melalui bank domestik. Otoritas moneter itu menegaskan, akan menghukum perusahaan yang membangkang dari ketentuan ini. Mulai denda hingga penangguhan ekspor. Besaran denda 0,5% dari nominal ekspor yang belum masuk ke bank domestik. Sedangkan sanksi penangguhan ekspor dilakukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, berkoordinasi dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak (SKK Migas). Saat ini, Ditjen Bea Cukai sendiri sudah menangguhkan ekspor milik 20 perusahaan dari berbagai sektor
. Deputi Gubernur BI, Halim Alamsyah, menegaskan PBI devisa hasil ekspor berlaku untuk semua eksportir, baik lokal maupun asing. "Itu aturan untuk Republik Indonesia! Bukan untuk kepentingan BI," tegas Halim, Selasa (12/2).
Deputi Gubernur BI, Hartadi Agus Sarwono, menambahkan perusahaan migas tidak pernah dilarang menyimpan hasil ekspor mereka di bank luar negeri. BI hanya ingin mereka mengirim dulu hasil penjualan ke dalam negeri. Dari situ akan terlihat volume dan nilai ekspor yang sebenarnya, sehingga pencatatan penjualan barang asal Indonesia menjadi lebih baik. Catatan saja, perusahaan migas wajib melaporkan devisa hasil ekspor mulai akhir Juni 2013. Ini merupakan pengecualian, karena pemberian sanksi bagi eksportir sektor usaha lain sudah berjalan sejak pertengahan 2012. BI memberikan kelonggaran agar perusahaan migas memiliki waktu untuk memperbaiki perjanjian penempatan hasil ekspor di bank luar negeri. Sejauh ini, mayoritas KKKS sudah mulai mematuhi aturan BI. Hanya segelintir perusahaan yang masih ngotot menolak mengirim. Antara lain Chevron Pacific Indonesia, Total E&P Indonesia dan British Petroleum. Siap ke arbitrase Yanto Sianipar,
Vice President Policy Government and Public Affairs Chevron, menegaskan pihaknya tetap tidak akan bersedia mematuhi ketentuan BI. "BI seharusnya menghormati kontrak kami dengan pemerintah. Kontrak itu menegaskan, kami berhak mengirimkan hasil penjualan ke mana pun, termasuk ke luar negeri," katanya, Selasa (12/2). Yanto mengaku tidak habis pikir dengan aturan main BI. Devisa yang tidak dilaporkan ke bank domestik adalah hasil penjualan migas miliknya sendiri. Catatan saja, dalam skema
production sharing contract (PSC), pemerintah mendapat porsi 85%, kontraktor memperoleh 15% dari produksi. "Masak, migas yang menjadi hak kami, hasil penjualannya harus ditransfer dulu ke bank domestik," katanya. Saat ini, kata Yanto, Chevron terus berunding dengan BI untuk mencari jalan keluar atas masalah ini. "Harapannya, KKKS dikecualikan dari aturan," katanya. Jika tak ada titik temu dan BI tetap memberlakukan sanksi, "Kami mungkin mempertimbangkan jalur arbitrase," katanya. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, berpendapat perusahaan KKKS harus tunduk pada peraturan BI. "Sekalipun yang diekspor itu adalah bagian atau hak si kontraktor, devisanya harus tetap masuk ke sini," katanya. Argumentasi perusahaan migas, menurut Hikmahanto, lemah dan mudah dibantah. Semua perjanjian, apa pun bentuknya, harus menyesuaikan diri dengan perundang-undangan yang baru. "Mereka tidak bisa berlindung di balik kontrak," katanya. Permasalahan semacam ini juga ada pengaturannya di dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Pasal 1320 KUHP menyebutkan, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi empat syarat. "Salah satu syaratnya adalah adanya suatu sebab yang halal" katanya.
Hikmahanto melanjutkan, suatu sebab dikatakan halal jika sesuai Pasal 1337 KUHP, yakni; tidak bertentangan dengan ketertiban umum, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan. "Segala peraturan yang dibuat lembaga negara, termasuk BI, masuk kategori terakhir. Jadi, perjanjian atau kontrak harus menyesuaikan diri atau dianggap batal demi hukum," katanya. Kalaupun perusahaan migas mau menuntut, jalurnya bukan ke arbitrase. Mereka seharusnya menggugat peraturan BI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau mengajukan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi. "Jika pemerintah menasionalisasi, mencabut izin atau mengubah porsi bagi hasil secara semena-mena, mereka baru punya alasan ke arbitrase. Ini hanya pelaporan hasil ekspor," kata Hikmahanto. Melalui PBI No.14/25/PBI/2012, BI tidak bermaksud mewajibkan eksportir mengonversi valas ke rupiah, atau menyimpan valas hasil ekspornya di bank domestik dalam kurun waktu tertentu. "Kalau mereka langsung menarik keluar DHE yang sudah masuk ke bank domestik, kan tidak apa-apa. Jangan sedikit-sedikit mengancam ke arbitrase," katanya. n Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: