KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bank Indonesia (BI) memilih menahan BI Rate lagi di tengah tekanan global yang belum mereda dan risiko fiskal domestik yang kian mencuat. Langkah ini menegaskan fokus BI saat ini utamanya untuk menjaga stabilitas nilai tukar di tengah beban berat yang sedang ditopang rupiah. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 16-17 Desember 2025 memutuskan mempertahankan suku bunga atau BI-Rate sebesar 4,75%. Tak hanya itu, suku bunga
Deposit Facility juga dipertahankan di level 3,75%, dan suku bunga Lending Facility dipertahankan sebesar 5,5%. Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, keputusan ini konsisten dengan upaya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah masih tingginya ketidakpastian global.
Baca Juga: IHSG Diprediksi Bergerak Mixed Kamis (18/12), Cek Rekomendasinya Ekonom Bright Institute Yanuar Rizky mengatakan keputusan BI mempertahankan suku bunga ini menandai sinyal BI menyadari situasi tekanan yang terjadi terhadap rupiah. Kata dia, rupiah kini makin terbebani oleh kondisi fiskal. “Menurut saya, dari sisi rupiah sendiri, kondisi tekanan fiskal dan beban utang jatuh tempo akan terus menjadi isu besar sampai tahun 2027,” ujar Rizky kepada Kontan, Rabu (17/12/2025). Selain itu, dia juga melihat supply pasar ke emerging market masih belum akan mengalir deras dalam jangka waktu dekat meskipun The Fed telah memangkas suku bunga acuannya. Hal ini disebabkan harga emas yang masih tinggi, di sisi lain faktor
yield revolving US Treasury. Global Markets Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto pun menekankan, langkah BI yang terus mempertahankan suku bunga acuan dua bulan terakhir ini terutama untuk menjaga stabilitas moneter. Langkah ini diambil supaya rupiah tetap bergerak stablil di tengah peristiwa capital ouflow yang sedang terjadi. “Dengan kata lain, daya tarik aset kita dijaga. Lalu BI juga berharap ada gap atau selisih imbal hasil investasi, terutama obligasi, antara Indonesia dengan AS bisa tetap lebar,” jelas Myrdal. Dengan menjaga gap imbal hasil obligasi, diharap bisa membantu menahan tekanan keluar-masuk dana asing jangka pendek dan meredakan kebutuhan penyesuaian nilai tukar yang terlalu tajam.
Baca Juga: Nataru Bikin Prospek Saham Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) Kian Menderu Meski demikian Myrdal mengatakan perkembangan stabilitas mata uang rupiah hingga tahun depan masih akan tetap terjaga dengan baik. Hal ini didorong oleh posisi neraca dagang Indonesia yang terus konsisten mengalami surplus dan BI yang makin berhati-hati menurunkan suku bunga acuan. Sama halnya, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede bilang prospek penguatan rupiah pada tahun 2026 masih terbuka, kendati sifatnya bertahap dan terbatas, bukan penguatan yang lurus tanpa gangguan. Pendorongnya yakni proyeksi penurunan suku bunga bank sentral AS pada 2026 yang bisa menurunkan imbal hasil obligasi AS dan melemahkan indeks dolar AS, sehingga selera risiko global berpotensi membaik dan arus dana kembali masuk ke negara berkembang. Dari sisi domestik, peluang penguatan rupiah akan lebih besar bila inflasi tetap rendah dan stabil, neraca pembayaran membaik, cadangan devisa meningkat, serta arus investasi langsung tetap kuat seiring berjalannya proyek-proyek investasi dan perbaikan kepastian kebijakan. Namun, jelas Josua, pasar juga berpotensi membatasi ruang penguatan rupiah bila membaca arah kebijakan fiskal dan moneter terlalu longgar secara bersamaan, karena hal itu bisa meningkatkan kebutuhan pembiayaan pemerintah, memperbesar persepsi risiko, dan pada akhirnya menahan arus modal masuk. Selain itu, normalisasi harga komoditas dan kecenderungan defisit transaksi berjalan yang sedikit melebar ketika impor menguat untuk mendukung pertumbuhan juga dapat membuat rupiah tetap sensitif. Josua pun menyampaikan sepanjang tahun 2025 ini pergerakan rupiah berada dalam dua fase besar. Di paruh pertama, tekanan lebih banyak datang dari faktor eksternal, terutama ketidakpastian kebijakan dagang AS. Memasuki fase kedua, faktor domestik menjadi lebih dominan dalam membentuk volatilitas, terutama saat pasar menilai keseimbangan antara dorongan pertumbuhan dan risiko stabilitas. “Jadi, tren rupiah tahun 2025 bukan sekadar melemah, melainkan melemah dengan fase pemulihan, lalu kembali tertekan,” tandas Josua. Pun Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengamini, rupiah masih terlihat berjuang untuk menguat secara signifikan dan masih mengalami tekanan. “Sulitnya rupiah menguat secara tajam disebabkan oleh beberapa faktor domestik dan eksternal yang bersifat struktural," jelas Sutopo Di tahun depan, kata Sutopo, pelaku pasar perlu mewaspadai beberapa sentimen penting. Risiko terbesar adalah inflasi domestik yang tidak terduga, yang dapat memaksa BI untuk mempertahankan suku bunga lebih lama dari yang diantisipasi pasar, sehingga membatasi potensi penguatan rupiah. Selain itu, kecepatan dan jumlah pemotongan suku bunga The Fed dapat menjadi sumber volatilitas. Misal, jika The Fed tiba-tiba kembali ke nada
hawkish karena data ekonomi AS yang kuat, dolar dapat menguat tajam kembali. Melihat proyeksi tren pelonggaran moneter global, Sutopo dan Josua sama-sama memperkirakan rupiah akan mengalami apresiasi yang moderat dan bertahap sepanjang tahun 2026. Josua memperkirakan kisaran nilai tukar pada akhir 2026 di sekitar Rp 16.200 - Rp 16.400 per dolar AS, sedang Sutopo memproyeksikan rupiah pada 2026 akan berada direntang Rp 16.000 - Rp 16.500 per dolar AS. Pun Myrdal memproyeksi rupiah pada 2026 akan di kisaran Rp 16.652 per dolar AS. Kata Josua, proyeksinya ini mencerminkan asumsi bahwa arus modal berangsur membaik seiring pelonggaran suku bunga global, tetapi ruang penguatan tetap dibatasi oleh risiko domestik seperti kebutuhan pembiayaan defisit, potensi pelebaran defisit transaksi berjalan, dan normalisasi komoditas. Artinya, skenario penguatan ke bawah Rp 16.000 memerlukan kombinasi yang cukup kuat, yaitu sentimen global sangat mendukung dan kredibilitas kebijakan domestik sangat meyakinkan. Sedangkan skenario pelemahan melewati batas atas kisaran tersebut biasanya dipicu oleh guncangan global baru atau meningkatnya kekhawatiran pasar pada stabilitas domestik.
Baca Juga: Cek Rekomendasi Saham Analis untuk GoTo (GOTO) Pasca Pergantian Direktur Sementara Sutopo menyebut katalis utama yang dapat mendorong Rupiah berbalik menguat adalah konfirmasi
capital inflows yang signifikan.
Momentum ini akan tersokong oleh dua faktor utama yakni keberhasilan BI dalam menahan laju inflasi domestik dan percepatan reformasi struktural, seperti penyelesaian negosiasi tarif perdagangan dengan AS yang akan meningkatkan prospek ekspor dan neraca perdagangan Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News