BI Tak Akan Tetapkan Besaran NIM Bank



JAKARTA. Bank Indonesia (BI) memastikan tidak akan menetapkan besaran spread atau selisih antara bunga deposito dan bunga kredit dalam angka tertentu yang harus dipatuhi perbankan. Otoritas perbankan dan moneter itu menilai, besaran selisih bunga bersih atau nett interest margin (NIM) tidak bisa ditetapkan secara pukul rata.

Alasannya, struktur biaya tiap bank tidak sama, tergantung pada segmen pasar yang dibidik. "Kami tidak akan mematok berapa NIM ideal bank. Itu tidak boleh dilakukan, karena nanti akan ada bank yang mati bila dipatok," kata Pejabat Sementara Gubernur BI Darmin Nasution di Jakarta, Jumat (12/2).

Darmin menjelaskan, bank yang menggarap sektor ritel dan mengucurkan kredit ke UMKM dan jangkauan luas umumnya memiliki NIM tinggi. Itu, bukan karena mereka mau untung gede, tapi memang biaya operasionalnya mahal. "Seperti BRI, NIM-nya besar," ungkapnya.


Meski tidak akan mematok besaran NIM, bukan berarti BI membiarkan bank tidak efisien, yang ujung-ujungnya membuat bunga kredit jadi mahal. Pengawas perbankan itu berjanji akan mengawasi biaya operasional bank.

Saat ini, BI masih menganalisis data tentang rincian biaya dana yang diserahkan bank. "Prosesnya masih berjalan. Kami meminta mereka merinci biaya secara cermat, mana biaya promosi, biaya gedung, dan sebagainya," kata Darmin.

Dengan merinci faktor-faktor penyumbang biaya dana, BI nantinya bisa membuat aturan yang bakal menjadi pedoman bagi perbankan. "Dari sana kami bikin aturan sehingga bank harus memperbaiki biaya tertentu," katanya.

NIM perbankan saat ini masih sedikit di atas 6%. Angka itu cukup tinggi bila dibandingkan dengan NIM negara tetangga yang terbentang di kisaran 3% hingga 4% .

Pengusaha sering mengeluhkan angka NIM perbankan ini. Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Thomas Dharmawan, misalnya, menilai, suku bunga kredit perbankan nasional masih tinggi bila dibandingkan bunga kredit di luar negeri.

"Di Thailand suku bunga kredit modal kerja 6%," katanya. Sementara, di negeri ini, bunga untuk jenis kredit yang sama rata-rata mencapai 13,5% per tahun. Suku bunga yang tinggi ini, menurut Thomas, membuat pelaku sektor riil berpikir ulang saat ingin mencairkan kredit bank.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Johana K.