JAKARTA. Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) sebelumnya menantang keberanian pemerintah Indonesia untuk kembali mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan menaikkan harga menjadi Rp 8.500 per liter. Saran tersebut diberikan guna menyehatkan fiskal Indonesia agar terhindar dari defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).Kebijakan pengurangan subsidi BBM merupakan reformasi struktural yang kuat dan lebih efektif dibandingkan paket kebijakan fiskal lainnya. Besarnya subsidi BBM yang dikonsumsi dipandang sebagai masalah permanen yang menjadi beban Indonesia sejak beberapa tahun lalu.Bank Indonesia mengaku sejalan dengan saran World Bank maupun ADB tersebut. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengakui bahwa permasalahan subsidi energi dalam hal ini adalah minyak. Jika tidak segera dikurangi, akan mengancam masa depan bangsa Indonesia.Karena itu, pihak bank sentral menantang pemerintah mengatasi persoalan subsidi BBM yang masih tinggi ini. "Siapapun pemerintahan yang baru, jika tidak menyelesaikan masalah energi ini, maka Indonesia akan mengalami kesulitan nantinya," jelas Mirza dalam diskusi di Gedung BI, Jakarta, Rabu (2/4).Saat ini, kata Mirza, Indonesia sudah tidak bisa lagi mengandalkan ekspor sumber daya alam dan komoditas. Kondisi yang terjadi saat ini berbanding terbalik dengan produksi sumber daya alam dan komoditas Indonesia pada masa tahun 1980-an yang masih tinggi.Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan alternatif yang harus dioptimalkan, yaitu peningkatan diversifikasi energi. "Volume ekspor komoditas tidak turun, tapi harganya turun. Harga batu bara sulit naik lagi karena ada shale gas revolution di Amerika Serikat. Jika Indonesia tidak segera mengatasi tingginya konsumsi BBM dan tidak segera melakukan diversifikasi energi maka impor energi, maka semakin lama semakin besar dan nanti akan menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi," ungkap Mirza.Pada kesempatan yang sama, Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Andin Hadiyanto mengakui, langkah paling mudah dan cerdas untuk mengatasi tingginya impor BBM adalah dengan mengurangi subsidi BBM dan menaikkan harga jual."Demand side (sisi permintaan) konsumsi energi harus dikurangi dan biasanya saat mendesak, ada langkah cerdas yaitu menaikkan harga BBM yang pernah dilakukan pemerintah tahun lalu. Langkah itu menyelamatkan fiskal Indonesia, sehingga akhir tahun defisit current account tidak memburuk," jelasnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
BI tantang pemerintah baru atasi persoalan BBM
JAKARTA. Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) sebelumnya menantang keberanian pemerintah Indonesia untuk kembali mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan menaikkan harga menjadi Rp 8.500 per liter. Saran tersebut diberikan guna menyehatkan fiskal Indonesia agar terhindar dari defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).Kebijakan pengurangan subsidi BBM merupakan reformasi struktural yang kuat dan lebih efektif dibandingkan paket kebijakan fiskal lainnya. Besarnya subsidi BBM yang dikonsumsi dipandang sebagai masalah permanen yang menjadi beban Indonesia sejak beberapa tahun lalu.Bank Indonesia mengaku sejalan dengan saran World Bank maupun ADB tersebut. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengakui bahwa permasalahan subsidi energi dalam hal ini adalah minyak. Jika tidak segera dikurangi, akan mengancam masa depan bangsa Indonesia.Karena itu, pihak bank sentral menantang pemerintah mengatasi persoalan subsidi BBM yang masih tinggi ini. "Siapapun pemerintahan yang baru, jika tidak menyelesaikan masalah energi ini, maka Indonesia akan mengalami kesulitan nantinya," jelas Mirza dalam diskusi di Gedung BI, Jakarta, Rabu (2/4).Saat ini, kata Mirza, Indonesia sudah tidak bisa lagi mengandalkan ekspor sumber daya alam dan komoditas. Kondisi yang terjadi saat ini berbanding terbalik dengan produksi sumber daya alam dan komoditas Indonesia pada masa tahun 1980-an yang masih tinggi.Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan alternatif yang harus dioptimalkan, yaitu peningkatan diversifikasi energi. "Volume ekspor komoditas tidak turun, tapi harganya turun. Harga batu bara sulit naik lagi karena ada shale gas revolution di Amerika Serikat. Jika Indonesia tidak segera mengatasi tingginya konsumsi BBM dan tidak segera melakukan diversifikasi energi maka impor energi, maka semakin lama semakin besar dan nanti akan menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi," ungkap Mirza.Pada kesempatan yang sama, Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Andin Hadiyanto mengakui, langkah paling mudah dan cerdas untuk mengatasi tingginya impor BBM adalah dengan mengurangi subsidi BBM dan menaikkan harga jual."Demand side (sisi permintaan) konsumsi energi harus dikurangi dan biasanya saat mendesak, ada langkah cerdas yaitu menaikkan harga BBM yang pernah dilakukan pemerintah tahun lalu. Langkah itu menyelamatkan fiskal Indonesia, sehingga akhir tahun defisit current account tidak memburuk," jelasnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News