BI: Tax Amnesty dorong rupiah jadi Rp 13.000



Jakarta. Bank Indonesia (BI) memperkirakan nilai tukar rupiah bisa menguat mendekati Rp 13.000 per dollar AS tahun ini. Kurs rupiah sebesar ini lebih tinggi dibanding perkiraan rata-rata BI sebelumnya, yakni sebesar Rp 13.500-Rp 13.800 per dollar AS.

Penguatan rupiah ini bisa terjadi karena mempertimbangkan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty. Sebelumnya, BI belum memasukkan faktor tersebut sebagai pertimbangan.

Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan, perkiraan kurs Rp 13.500-Rp 13.800 per dollar AS mempertimbangkan keadaan ekonomi global, terutama ekonomi AS. Itu juga didasarkan kondisi domestik, karena kuartal kedua merupakan periode korporasi membayar dividen, termasuk ke investor asing sehingga kebutuhan valuta asing, terutama dollar tinggi.


"Perkiraan nilai tukar Rp 13.500 belum memperhitungkan adanya faktor tax amnesty dan dana masuk karena program tax amnesty," kata Agus, akhir pekan lalu. Dana yang masuk melalui kebijakan tersebut diyakini akan berdampak terhadap penguatan nilai tukar rupiah.

Selain itu, Agus menilai kondisi ekonomi Indonesia lebih baik seiring inflasi yang terkendali dan perbaikan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Oleh karena itu, perkiraan nilai tukar rupiah tahun ini akan lebih baik dibandingkan proyeksi sebelumnya, yaitu sebesar Rp 13.900 per dollar AS.

Menurut perhitungan Ekonom Maybank Juniman, dengan adanya tax amnesty, rata-rata nilai tukar rupiah hingga akhir tahun bisa di level Rp 13.000-Rp 13.300 per dollar AS. Jika kebijakan itu sukses, posisi cadangan devisa hingga akhir tahun meningkat menjadi US$ 110 miliar. Posisi cadangan devisa akhir bulan lalu US$ 103,6 miliar,

Ekonom David Sumual mengatakan, dana yang masuk melalui tax amnesty bisa digunakan untuk mengelola nilai tukar rupiah hingga di bawah Rp 13.000. Menurut David, penguatan rupiah yang terlampau tinggi bisa berdampak terhadap perdagangan internasional. "Catatan saja, level rupiah di bawah Rp 13.000 per dollar AS sudah overshooting, jauh lebih kuat dari fundamental," katanya.

Jika rupiah terlalu kuat,  akan kontraproduktif dengan upaya mendorong ekspor. Apalagi pada saat yang sama, banyak negara pesaing justru ingin mata uangnya lemah terhadap dollar AS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto