BI tertibkan 455 money changer



JAKARTA. Bank Indonesia (BI) kembali melakukan bersih-bersih kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank (KUPVA) atau money changer ilegal di tahun ini. BI mencatat telah menertibkan sebanyak 455 money changer yang tak berizin di seluruh Indonesia.

BI melakukan penerbitan menjadi dua tahap. Tahap pertama, BI menertibkan sebanyak 262 money changer di 10 wilayah. Tahap kedua, BI menertibkan 193 money changer di 12 wilayah pada pertengahan Mei 2017. Ini sebagai tindak lanjut pasca BI mengindikasi ada 783 money changer tak berizin yang tersebar di Indonesia.

Penukaran uang tak berizin tersebut terbanyak berada di Lhokseumawe, Bali, Kalimantan Timur, Kediri serta kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Lebih rinci lagi, BI menemukan sebanyak 51% atau 404 money changer dari total money changer ilegal tersebar di Pulau Jawa, diikuti 184 money changer di Pulau Sumatra.

Gubernur BI Agus D.W Martowardojo mengatakan, pihaknya mengambil langkah tersebut lantaran penyedia jasa penukaran uang tak berizin berpotensi sebagai tempat tindakan ilegal seperti pencucian uang, penyalahgunaan uang negara atau korupsi, narkoba hingga kegiatan pembiayaan terorisme.

"Bahkan begitu banyak penyelundupan barang ke Indonesia, itu pembiayaannya melalui money changer tidak berizin," kata Agus, Senin (5/6).

BI mencatat sekitar 48% dari total 783 money changer yang terindikasi dan belum terdaftar secara resmi digunakan semata-mata untuk penukaran valuta asing. Kemudian, sekitar 38% money changer lainnya menjalankan layanan sebagai toko emas, 8% sebagai agen wisata.

Guna menekan jumlah money changer tidak berizin, BI telah mengimbau agar pemilik usaha segera mengurus pendaftaran usahanya sesuai dengan PBI Nomor 18/20/PBI/2016 dan SE Nomor 18/42/DKSP tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank.

Selain money changer, BI juga menemukan perusahaan remitansi yang tidak mengantongi izin resmi. BI akan menertibkan remitansi yang melanggar undang-undang. "Biasanya perusahaan itu menetapkan nilai tukar yang jauh dari rasio normal yang merugikan masyarakat," imbuh Agus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie