JAKARTA. Arus dana asing ke pasar finansial negara-negara berkembang semakin deras. Tak terkecuali dana panas yang masuk ke Indonesia. Tengok saja porsi asing di SBI yang per 8 Oktober lalu mencetak rekor di angka Rp 78 triliun atau 31% dari total SBI. September lalu, porsi dana asing di SBI hanya 25% atau sekitar Rp 65 triliun. Namun, Bank Indonesia (BI) tidak terburu-buru mengikuti langkah bank sentral negara tetangga yang mulai keras terhadap dana asing Buktinya, BI masih mengandalkan instrumen dan kebijakan moneter yang ada saat ini untuk mengatasi masalah ini. Rabu (13/10) lalu, BI melelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor 3 bulan, 6 bulan, dan 9 bulan serta SBI Syariah (SBIS). Dalam lelang tersebut, BI menyerap likuiditas sebesar Rp 38,02 triliun. Bisa dibilang BI tak terlalu agresif menyerap permintaan pasar. Buktinya, dana yang diserap jauh dari target indikatif BI yang sebesar Rp 62,55 triliun. Menurut J.B. Kendarto, Direktur Utama Bank Mega, minat bank lokal membeli SBI berkurang karena bank mengumpulkan likuiditasnya untuk memenuhi kenaikan GWM Primer dari 5% menjadi 8%. "Bank lebih berkonsentrasi memenuhi GWM 8% ketimbang membeli SBI," tuturnya.
Pada lelang kali ini, BI juga belum menawarkan SBI seri baru yang bertenor 12 bulan. Difi A. Johansyah, Kepala Biro Hubungan Masyarakat BI, mengatakan, BI belum bisa menetapkan waktu lelang SBI 12 bulan. Pasalnya, BI menilai peluncuran instrumen moneter baru itu belum mendesak. "Belum akan diluncurkan dalam waktu dekat," katanya, Rabu (13/10). Kebijakan perbankan Beberapa ekonom menilai, BI belum meluncurkan SBI 12 bulan karena instrumen moneter dan kebijakan BI saat ini cukup mampu mengatasi hot money. Ambil contoh kewajiban bagi investor untuk memegang SBI selama satu bulan (one month holding period). Lalu, BI juga menggeser penempatan dana investor di SBI 1 bulan ke SBI dengan tenor yang lebih panjang, yaitu SBI 3 bulan, 6 bulan, dan 9 bulan.