BI tidak batasi fee bank dari uang elektronik



JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menilai potensi penggunaan uang elektronik akan semakin besar. Selain segmen market yang masih besar, sektor transaksinya pun banyak yang bisa digarap. Selain kereta api, tol, taksi, tempat makan, juga sektor lainnya.

Apalagi kata Farida Peranginangin, Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, ada beberapa perusahaan bank ataupun lembaga non bank yang tengah mengajukan izin untuk menjadi penyelenggara uang elektronik. "Uang elektronik dapat tumbuh dua kali lipat dari saat ini," kata Farida, Rabu (20/8).

Mengutip data BI per Juni 2014, jumlah uang elektronik tumbuh 16,54% menjadi 31.598.904 kartu, kemudian volume uang elektronik tumbuh 21,08% menjadi 15.611.532 transaksi. Farida menambahkan, tingginya minat bank dan non bank menjadi penyelenggara karena potensi biaya atau komisi (fee) dalam layanan uang elektronik. Jenis biaya yang dikenakan hanya untuk biaya penggantian media uang elektronik, biaya top up melalui pihak lain atau ATM/EDC, biaya tarik tunai melalui pihak lain atau ATM/EDC, serta biaya uang elektronik yang tidak aktif (dormant).


"BI tidak mengatur batasan biaya, namun seharusnya biayanya di bawah Rp 5.000," katanya. Namun menurut Jahja Setiadmadja Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA), uang elektronik tidak memberikan keuntungan bagi bank. Pasalnya bank masih mengeluarkan investasi untuk pengembangan infrastruktur. Seperti kartu dan alat pembaca kartu.

"Bank akan mempertimbangkan biaya untuk uang elektronik, karena jika ada biaya itu akan membebankan nasabah," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan