JAKARTA. Inflasi bahan pangan alias volatile menjadi salah satu komponen inflasi yang diwaspadai otoritas moneter. Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, saat ini inflasi bahan pangan Indonesia masih tergolong tinggi. Berdasarkan data BI, lima tahun terakhir inflasi kelompok pangan mencapai 9% secara tahunan year on year (yoy). Bahkan di beberapa daerah gejolak pangan cukup tinggi, sebut saja wilayah Indonesia bagian timur. Kurun waktu lima tahun belakangan ini, wilayah Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT) inflasi pangannya mencapai kisaran 9%-10% secara tahunan. "Beras, kedelai, dan bumbu-bumbu masih rentan terhadap gejolak," ujar Agus, Senin (21/4). Rata-rata inflasi komoditas tersebut adalah 11% untuk beras, kedelai sebesar 7%, dan bumbu-bumbuan sebesar 21%. Maka dari itu, BIĀ menggandeng Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Dalam Negeri untuk menangani inflasi bahan pangan. Mereka menandatangani MoU Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Saat ini cakupan wilayah yang disurvei Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mencapai 88 kota Indeks Harga Konsumen (IHK). Sebelumnya hanya berjumlah 66 kota IHK. Hal ini menunjukkan kian pesatnya peran daerah sebagai pengendali inflasi. TPID ini tugasnya melakukan pemantauan secara rutin perkembangan inflasi daerah dan mengidentifikasi berbagai permasalahan terkait pengendalian inflasi pada level teknis. Inisiatif pembentukan TPID sendiri sudah dimulai sejak tahun 2008. Dengan adanya kerja sama ini diharapkan semakin mampu meredam gejolak harga yang terjadi di daerah. Sekedar gambaran, tingkat inflasi bahan pangan bergejolak tahun ke tahun (yoy) pada bulan Maret 2014 sudah mencapai 7,25%. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menjelaskan inflasi daerah umumnya tidak berkaitan langsung dengan ketersediaan produksi. Produksi mencukupi karena dapat dipenuhi dari pasokan dalam negeri ataupun impor. Menurutnya, inflasi daerah kerap terjadi akibat masalah teknis. "Seperti kapal terlambat datang," tandas Hatta. Hal-hal teknis inilah yang kemudian menimbulkan inflasi pada daerah dan perlu diperbaiki. Tim yang dibuat dengan BI ini menjadi salah satu upaya dan penting karena secara dini dapat melakukan upaya secepat mungkin melakukan koreksi ataupun memperlancar distribusi apabila ada gangguan. Adapun untuk tahun ini, pemerintah menargetkan inflasi hingga akhir tahun sebesar 4,5% plus minus satu. Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Erani Yustika berpendapat penyumbang inflasi terbesar di Indonesia adalah bahan pangan. Kalau pemerintah memang serius menangani inflasi agar lebih stabil maka jalur distribusi perlu diperbaiki. Distribusi pangan antar wilayah bisa berhari-hari baru sampai ke tujuan. Belum lagi ketika sampai bahan pangan tersebut sudah rusak karena terlalu lama. "Perlu ada stabilisasi pasokan antar waktu," tutur Erani.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
BI waspadai inflasi bahan pangan
JAKARTA. Inflasi bahan pangan alias volatile menjadi salah satu komponen inflasi yang diwaspadai otoritas moneter. Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, saat ini inflasi bahan pangan Indonesia masih tergolong tinggi. Berdasarkan data BI, lima tahun terakhir inflasi kelompok pangan mencapai 9% secara tahunan year on year (yoy). Bahkan di beberapa daerah gejolak pangan cukup tinggi, sebut saja wilayah Indonesia bagian timur. Kurun waktu lima tahun belakangan ini, wilayah Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT) inflasi pangannya mencapai kisaran 9%-10% secara tahunan. "Beras, kedelai, dan bumbu-bumbu masih rentan terhadap gejolak," ujar Agus, Senin (21/4). Rata-rata inflasi komoditas tersebut adalah 11% untuk beras, kedelai sebesar 7%, dan bumbu-bumbuan sebesar 21%. Maka dari itu, BIĀ menggandeng Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Dalam Negeri untuk menangani inflasi bahan pangan. Mereka menandatangani MoU Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Saat ini cakupan wilayah yang disurvei Badan Pusat Statistik (BPS) sudah mencapai 88 kota Indeks Harga Konsumen (IHK). Sebelumnya hanya berjumlah 66 kota IHK. Hal ini menunjukkan kian pesatnya peran daerah sebagai pengendali inflasi. TPID ini tugasnya melakukan pemantauan secara rutin perkembangan inflasi daerah dan mengidentifikasi berbagai permasalahan terkait pengendalian inflasi pada level teknis. Inisiatif pembentukan TPID sendiri sudah dimulai sejak tahun 2008. Dengan adanya kerja sama ini diharapkan semakin mampu meredam gejolak harga yang terjadi di daerah. Sekedar gambaran, tingkat inflasi bahan pangan bergejolak tahun ke tahun (yoy) pada bulan Maret 2014 sudah mencapai 7,25%. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menjelaskan inflasi daerah umumnya tidak berkaitan langsung dengan ketersediaan produksi. Produksi mencukupi karena dapat dipenuhi dari pasokan dalam negeri ataupun impor. Menurutnya, inflasi daerah kerap terjadi akibat masalah teknis. "Seperti kapal terlambat datang," tandas Hatta. Hal-hal teknis inilah yang kemudian menimbulkan inflasi pada daerah dan perlu diperbaiki. Tim yang dibuat dengan BI ini menjadi salah satu upaya dan penting karena secara dini dapat melakukan upaya secepat mungkin melakukan koreksi ataupun memperlancar distribusi apabila ada gangguan. Adapun untuk tahun ini, pemerintah menargetkan inflasi hingga akhir tahun sebesar 4,5% plus minus satu. Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Erani Yustika berpendapat penyumbang inflasi terbesar di Indonesia adalah bahan pangan. Kalau pemerintah memang serius menangani inflasi agar lebih stabil maka jalur distribusi perlu diperbaiki. Distribusi pangan antar wilayah bisa berhari-hari baru sampai ke tujuan. Belum lagi ketika sampai bahan pangan tersebut sudah rusak karena terlalu lama. "Perlu ada stabilisasi pasokan antar waktu," tutur Erani.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News