BI yakin CAD 2019 sebesar 2,5% dari PDB, ini penjelasannya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) optimistis defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) 2019 dikisaran 2,5% dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih rendah ketimbang prediksi CAD 2018 yang dikisaran 3%.

"Defisit transaksi berjalan 2019 akan turun menjadi sekitar 2,5% dari PDB," ungkap Perry Warjiyo Gubermur BI, Rabu (2/1).

Meskipun, berdasarkan data yang dihimpun Kontan.co.id, kinerja ekspor masih buruk walaupun tetap tumbuh. Sedangkan impor terus melaju kencang.


Walhasil, defisit neraca perdagangan Oktober dan Desember 2018 masing-masing sebesar US$ 1,82 miliar dan US$ 2,05 miliar.

Sedangkan CAD kuartal III-2018 sebesar US$ 8,8 miliar atau mencapai 3,37%. Maka hampir dapat dipastikan CAD sepanjang 2018 akan kembali defisit, meskipun neraca pembayaran pada kuartal IV-2018 diprediksi BI surplus US$ 4 miliar.

Berdasarkan paparan Perry saat Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI), target tersebut diupayakan BI dengan langkah-langkah pengendalian impor serta peningkatan ekspor dan pariwisata.

Program-program pengembangan usaha mikro kecil menengah (UMKM) akan diperluas dan difokuskan pada pengendalian inflasi dan penurunan defisit transaksi berjalan.

Pengembangan klaster UMKM di bidang kerajinan seperti batik dan industri rumah tangga sesuai keunikan budaya daerah, maupun di sektor pertanian, seperti kopi, terus ditingkatkan dan diarahkan untuk ekspor dan pariwisata.

Secara triwulanan yang difokuskan pada perbaikan defisit transaksi berjalan melalui pengembangan industri manufaktur berorientasi ekspor, pariwisata, pembiayaan investasi khususnya infrastruktur, dan pengembangan ekonomi-keuangan digital.

Sedangkan kondisi global masih menjadi tantangan bagi BI untuk mengupayakan CAD dikisaran 2,5% PDB. Hanya saja, tekanan diperkirakan tidak seganas 2018.

Perry menjelaskan, ekonomi Amerika Serikat (AS) dan China akan melambat. Adanya government shutdown di AS menyebabkan tidak adanya stimulus fiskal di negeri Paman Sam tersebut, sehingga pertumbuhan ekonomi tak akan melaju kencang.

"Ini akan menurunkan confidence pasar terhadap kinerja ekonomi AS maka terjadi koreksi di pasar saham yang juga memberikan dampak ke keuangan global," jelasnya.

Pun data ekonomi China juga sudah mengalami perlambatan.

Kondisi tersebut, menurut Perry membuat adanya sentimen positif pada perundingan AS-China setelah 90 hari melakukan gencatan senjata.

Sehingga, kinerja ekspor bisa diperbaiki saat kondisi global mengarah ke sentimen positif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto