Biar murah, margin niaga gas akan dipangkas



JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus menggodok Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Harga Jual gas Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Salah ganjalan adalah penentuan margin pelaku usaha niaga gas.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM IGN Wiratmaja Puja, mengatakan, harga gas di hilir dengan harga gas di hulu memiliki perbedaan yang cukup jauh. Jika harga gas di hulu hanya US$ 6 per mmbtu, maka harga gas di hilir hingga sampai konsumen akhir mencapai US$ 14 per mmbtu.

Makanya, pemerintah akan mengatur penataan harga jual di hilir migas lewat permen tersebut. Pemerintah akan membatasi margin niaga gas hanya sebesar 7% ditambah biaya angkut gas (toll fee). Padahal, sebelumnya, pemerintah malah hanya akan mengizinkan pelaku niaga gas mendapatkan margin 5%.


Wiratmaja menegaskan, adanya kenaikan sebesar 2% untuk batas margin niaga gas bukan karena desakan para pelaku industri gas hilir. "Pemerintah tidak boleh mengambil keputusan karena desakan," ujarnya kepada KONTAN, Selasa (21/3).

Yang pasti, pemerintah telah memperhitungkan penetapan batas margin tersebut. "Harus ada dasar perhitungannya," katanya.

Sekretaris Jenderal Indonesia Natural Gas Trader Association (INGTA) Eddy Asmanto menyebutkan, pembatasan margin sebesar 7% masih belum sesuai dengan permintaan para pelaku industri. Sejatinya, pelaku industri hilir gas menginginkan batas margin niaga gas lebih tinggi. "Berdasarkan kajian dan informasi dari kondisi lapangan, sebenernya yang kami minta 10%, yang kami anggap wajar. tapi pemerintah memaksakan 7%,"kata Eddy ke KONTAN pada Selasa (21/3).

Biarpun begitu, Eddy berharap, batas margin niaga tidak berlaku sebagai batas atas atau batas bawah. Melainkan berlaku untuk harga rata-rata tertimbang. Sehingga masih memungkinkan badan usaha untuk menjual gas lebih tinggi pada suatu keadaan tertentu dibandingkan dengan ketentuan yang ada.

Namun jika menghitung secara keseluruhan, penjualan rata-rata masih tidak melebihi dari ketentuan batas margin niaga sebesar 7%. "Kalau yang ditentukan 7% itu harga rata-rata, kami barangkali masih bisa terima. Tetapi kalau itu harga maksimum, barangkali itu masih memberatkan bagi pelaku usaha," katanya.

Margin jangan diatur

Eddy mengungkapkan, .jika memang 7% itu merupakan margin rata-rata, maka badan usaha masih bisa melakukan subsidi silang. Sehingga mereka masih bisa melakukan investasi yang cukup besar dan tetap bisa menyalurkan gas untuk jumlah konsumen yang tidak terlalu besar.

Contohnya dengan margin 7%, harga gas ke konsumen sebesar US$ 8 per mmbtu. Namun ternyata daya serap konsumen setempat tidak sampai US$ 8 per mmbtu. Maka pelaku bisnis niaga gas masih bisa berinvestasi untuk menyalurkan ke konsumen dengan daya serap di bawah US$ 8 per mmbtu. Asalkan di sisi lain ada industri yang mau membeli di atas harga US$ 8 per mmbtu.

Jika masih ada industri yang memerlukan gas dan mau menerima harga gas di atas US$ 8 per mmbtu, maka trader gas masih bisa investasi. Di sisi lain, secara rata-rata margin tidak melewati batas yang ditetapkan pemerintah. "Sehingga kalau dirata-ratakan, badan usaha tidak hanya menikmati margin sebesar 7% itu," imbuh Eddy.

Eddy menilai, para pelaku industri hilir gas sebenarnya tidak ingin margin niaga diatur-atur oleh pemerintah. Untuk itu dia berharap, pengaturan yang dilakukan Kementerian ESDM nantinya tidak memberatkan pelaku industri. "Usulan paling ekstrim adalah enggak usah diatur, serahkan saja pada kompetisi pasar. Tetapi pemerintah menginginkan ada pengaturan. Sebaiknya pengaturan itu tidak memberatkan kami," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia