KONTAN.CO.ID - JAKARTA. A Beng (nama fiktif) duduk gelisah di meja rolet sebuah kasino. Sudah lima kali berurutan ia memasang koinnya pada sejumlah angka genap. Namun yang muncul selalu angka ganjil. Menjelang permainan berikutnya, temannya berbisik agar ia memasang sejumlah angka ganjil. A Beng berpikir keras, tetap pasang genap atau pindah ke ganjil? Dia pikir "Ah, genap sudah lama tak muncul." Sedangkan temannya berhipotesis bahwa angka ganjil sedang jadi tren.
Sejatinya probabilitas munculnya angka genap atau ganjil di setiap permainan tidak dipengaruhi oleh hasil pada permainan sebelumnya. Ada dua kemungkinan penyesalan (
regret) pada permainan itu.
Pertama, A Beng tetap memasang angka genap, dan yang muncul adalah angka ganjil seperti bisikan temannya. Ia akan mengalami "
regret of omission", penyesalan karena tidak mengambil tindakan.
Kedua, A Beng memasang angka ganjil dan yang keluar adalah angka genap. Ia terkena "
regret of commission" alias penyesalan karena bertindak. Penyesalan mana yang lebih menyakitkan A Beng? Kemungkinan besar adalah
regret of commission. Bayangkan, ia sudah lima kali "berinvestasi" pada angka genap sehingga dia memiliki "
emotional capital" pada angka ini. Jika dia pindah ke angka ganjil dan ternyata angka genap yang muncul, dia merasa menjadi orang paling idiot sedunia. Kemungkinan besar A Beng akan memilih tetap memasang angka genap. Jika tebakannya benar, dia mendapat kebanggaan (
pride) karena strateginya berhasil. A Beng, seperti kebanyakan orang, berusaha menghindari
regret of commission dan mencari
pride. Melepas winners Hal yang sama bisa menimpa investor saham. Misalnya Si Telo ingin saham Astra. Karena tidak punya uang, ia harus menjual sahamnya yang lain. Ada dua pilihan: menjual saham BUMI atau BBCA. Saham BUMI-nya masih menanggung kerugian 30% sejak dibeli (
loser), sedangkan saham BBCA sudah memberikan keuntungan 30% (
winner). Kemungkinan besar, Si Telo akan menjual saham Bank BCA untuk merealisasi
paper gain (mencari
pride) dan menghindari realisasi
paper loss dari saham BUMI. Jika ia jual BUMI dan kemudian harganya naik, ia akan mengalami
regret of commission. Kecenderungan mencari
pride dan menghindari
regret ini disebut "
disposition effect" atau "
get-eventinis". Investor tak mau menjual saham sebelum harganya kembali ke level saat beli (
get even). Bahayanya, investor bisa terjebak menjual
winners terlalu cepat dan memegang
losers terlalu lama. Fenomena bias psikologis ini dikemukakan oleh pakar
behavior finance Hersh Shefrin dan Meir Statman di
Journal of Finance pada 1985. Karya mereka diilhami
Prospect Theory dari pemenang Nobel Daniel Kahneman yang mengindikasikan investor lebih suka menghindari kerugian daripada mencari keuntungan (
loss aversion). Mengapa? Ternyata perasaan sedih akibat merugi Rp 100 juta lebih besar daripada perasaan puas jika memperoleh keuntungan Rp 100 juta.
Makin merugi Sebuah penelitian empiris di Amerika Serikat mengamini fenomena ini. Schlarbaum, dkk, pada 1978 menganalisis hubungan antara jangka waktu memegang saham (
holding period) dan imbal hasilnya. Hasilnya menarik. Untuk
holding period 1 bulan, imbal hasilnya adalah 45%. Untuk
holding period 2-6 bulan, imbal hasilnya 7,8%.Untuk
holding period 6-12 bulan, memberi imbal hasil 5,1%. Sedangkan kepemilikan di atas 12 bulan, imbal hasilnya 4,5%. Ini bukti bahwa investor cepat menjual
big winners dan menahan
losers hingga harga naik kembali ke level semula atau sedikit lebih tinggi. Apa implikasi dari bias psikologis ini? Menjual
winners terlalu cepat membuat investor kehilangan kesempatan untuk memperoleh keuntungan lebih besar jika performa saham tersebut terus membaik. Sebaliknya, menahan
losers terlalu lama bakal semakin merugikan investor jika performa saham tersebut semakin memburuk. Penelitian di Amerika Serikat pada 1998 oleh Terrance Odean mengkonfirmasi hal ini. Ketika investor menjual
winners, tahun depan saham-saham tersebut menghasilkan keuntungan 2,35% di atas keuntungan indeks pasar. Sebaliknya, saat menjual
losers, tahun berikutnya saham-saham ini menghasilkan keuntungan yang 1,06% lebih rendah dari keuntungan indeks pasar. Menghindari risiko menahan
losers terlalu lama bukan berarti segera menjual ketika harga saham turun tajam, misalnya 5% hingga 10%. Bisa jadi penurunan ini hanya bersifat sementara akibat sentimen sesaat.
Misalnya saham bank di BEI yang sempat tertekan di awal tahun ini. Ketika kekhawatiran atas
high inflation mereda, harga saham bank segera
rebound dan melejit. Bagi investor jangka panjang, saham-saham
blue chip yang mengalami penurunan harga masih bisa di-
hold hingga sekitar 6 bulan. Jika tidak ada perbaikan kinerja barulah saham tersebut dilepas dan dananya dipindahkan ke saham lain yang punya prospek lebih cerah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Harris Hadinata