Biaya akan naik, para petani pasti menjerit



Jakarta-Kenaikan harga BBM bersubsidi mulai 1 April 2012 dipastikan akan membuat petani makin menjerit. Dampak ini terutama akan dirasakan oleh para petani kecil alias petani gurem yang selama ini memiliki resiko jika harga BBM bersubsidi dinaikkan.

Dampak terhadap kehidupan petani berasal dari kenaikan harga pangan dan kenaikan harga barang-barang input pertanian. “Dengan pendapatan kurang dari Rp 500.000 per bulan, kenaikan harga pangan tentu menyulitkan. Belum lagi naiknya harga input pertanian akibat kenaikan BMM,” tutur Said Abdullah, advokasi officer Koalisi Rakyat untuk Kedaultan Pangan (KRKP).

Saat ini, sebelum kenaikan harga BBM bersubsidi berlaku, setidaknya 55% pendapatan petani dialokasikan untuk modal bertani, seperti membeli benih, pupuk, dan pestisida. Kenaikan harga BBM bersubsidi diperkirakan akan meningkatkan harga modal pertanian tersebut sekitar 10% hingga 15%. Akibatnya, alokasi pendapatan petani untuk modal pertanian bisa naik menjadi 60% hingga 75%. Akibatnya, para petani akan sulit untuk memenuhi kebutuhan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan bahan pangan.


Apalagi pemerintah mau mengurangi subsidi pupuk dan benih yang termuat dalam RAPBN Perubahan (RAPBNP) 2012. Subsidi pupuk akan dipangkas dari Rp16,94 triliun menjadi Rp 13,95 triliun atau berkurang Rp 2,98 triliun. Sementara subsidi benih dipotong hingga 53,7%, dari Rp 279,9 miliar menjadi Rp 129,5 miliar.

KRKP memperkirakan para petani akan terus bergulung dengan utang. “Pemberian bantuan langsung selain tidak mendidik, itu hanya pelipur lara sesaat. Bantuan langsung tidak akan menjawab persoalan pokok petani,” kata Said.

Seyogyanya uang penghematan subsidi BBM yang mencapai Rp 38 triliun dialokasikan untuk membantu petani untuk meningkatkan kinerja produksi pertanian. Seperti member jaminan harga gabah dari pemerintah pada saat panen, ganti rugi jika terjadi gagal panen, menyediakan akses atas lahan dan input pertanian yang tak memberatkan, dan asuransi kesehatan dan pendidikan bagi keluarga petani.

HPP tidak efektif

Dalam Tinjauan Kebijakan (Policy Paper) yang diterima KONTAN, KRKP juga menilai kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) tahun ini tidak efektif meningkatkan kesejahteraan petani. Sebab Bulog sebagian besar membeli dari pedagang mitra, bukan dari petani. Selain itu, Bulog lebih banyak membeli beras ketimbang gabah. Padahal para petani kebanyakan hanya mampu menjual gabah pada saat panen.

KRKP menemukan fakta di lapangan, HPP tidak efektif meningkatkan taraf hidup petani karena disalahgunakan oleh pedagang beras maupun gabah. Di Karawang Jawa Barat dan Boyolali Jawa Tengah, KRKP menemukan HPP untuk beras dan gabah dibawah harga pasar. Para pedagang menetapkan pembelian berdasarkan HPP yang nilainya di bawah harga pasar sehingga para petani mengalami kerugian.

Disebutkan di dalam laporan KRKP, di Boyolali, seorang pedagang beras menerima keuntungan sebesar Rp 20 juta per bulan dengan rata-rata penjualan kepada Bulog sebesar 240 ton per minggu. Keuntungan tersebut di dapat karena pedagang membeli dari petani dengan harga HPP yang rendah, lalu dijual ke Bulog dengan harga tinggi. Berdasarkan ketetapan Presiden, harga pembelian gabah di gudang Bulog sebesar Rp 4.200 per kg.

HPP tahun 2012 ditetapkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) No.3 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Ketentuan yang berlaku mulai 27 Februari 2012 ini dianggap tidak merangsang para petani dan pengusaha penggilingan padi untuk meningkatkan mutu pertanian, karena Inspres tersebut tidak menetapkan standard tertentu sebagai persyaratan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Umar Idris