Biaya dan efek pertemuan IMF-Bank Dunia



Pada bulan Oktober nanti, Indonesia bakal menggelar Annual Meeting IMF World Bank Group 2018 (AM IMF-WB 2018) atau Pertemuan Tahunan IMF dan Bank Dunia 2018. Pemerintah memperkirakan acara tersebut akan dihadiri oleh 18.000 orang dari 189 negara.

Meski mendapat kehormatan pertemuan kelas dunia itu, masyarakat justru terbelah. Ada kelompok yang menilai pemerintah menghamburkan uang demi gengsi dengan menjadi penyelenggara acara itu. Polemik itu adalah hal wajar. Mengingat citra IMF dan Bank Dunia kurang baik di mata masyarakat umum.

Hal ini diperburuk dengan pemahaman masyarakat yang belum menyeluruh akan biaya yang dibutuhkan dan dampak yang akan diperoleh dari penyelenggaraan ajang itu. Selama ini masyarakat lebih banyak menekankan pada biaya, tanpa melihat dampak positifnya. Pemerintah sendiri telah menganggarkan dana Rp 855 miliar untuk menggelar perhelatan tersebut. Angka ini terlihat cukup besar. Tapi dibanding Asian Games 2018 yang menelan dana Rp 8,7 triliun, di luar biaya pembangunan infrastruktur, biaya pertemuan di Bali relatif kecil.


Asian Games berlangsung 16 hari, sedangkan pertemuan IMF Bank Dunia tujuh hari. Jika kita bagi rata-rata anggaran per hari, Asian Games 2018 membutuhkan Rp 543,7 miliar per hari, sedangkan pertemuan IMF dan Bank Dunia berkisar Rp 122,1 miliar per hari. Belum lagi dari sisi negara, pertemuan IMF Bank Dunia diikuti 189 negara, Asian Games cuma 45 negara di Asia.

Masyarakat belum banyak tahu, tidak semua anggaran penyelenggaran berupa uang habis pakai. Sebagian anggaran digunakan untuk menalangi delegasi menyewa kamar hotel dan ruangan. Karena dana talangan, dana yang terpakai akan dibayarkan kembali oleh mereka ke pemerintah dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Selain itu, sebanyak Rp 555 miliar (64%) digunakan untuk pembangunan infrastruktur seperti pembangunan underpass Simpang Tugu Ngurah Rai. Artinya, hanya 36% (Rp 313 miliar) terpakai untuk keperluan non-infrastruktur.

Terdapat dua dampak langsung dari pertemuan tersebut. Pertama adalah dampak terhadap perekonomian daerah. Kepala Bappenas, Bambang Brojonegoro, memperkirakan sekitar Rp 6,9 triliun akan berputar di Bali saat pertemuan berlangsung.

Kedua, efek langsung berikutnya adalah peningkatan pendapatan daerah/pusat melalui penerimaan pajak. Seperti yang pertama dari sisi akomodasi, Pimpinan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia Bali memperkirakan para peserta pertemuan IMFBank Dunia akan menginap di hotel bintang empat dan lima di Bali.

Sebanyak 13.500 kamar hotel di kawasan Nusa Dua dan sekitarnya akan disewa selama 10 hari dengan tarif rata-rata per malam US$ 600 ditambah 4.500 kamar di area Kuta dan sekitarnya dengan tarif per malam sekitar US$ 200.

Menggunakan kurs saat ini, maka total biaya pengeluaran untuk akomodasi para delegasi dan peserta pertemuan tersebut bisa mencapai Rp 1,3 triliun. Kedua, jika diasumsikan pengeluaran cenderamata 20% dari total pengeluaran akomodasi, maka mereka akan mengeluarkan uang sekitar Rp 262 miliar. Ketiga, panitia nasional pertemuan itu menyebut akan ada sekitar 2.0003.000 pertemuan terkait acara tersebut. Jika kita asumsikan terdapat 2.500 pertemuan dengan biaya per pertemuan mencapai Rp 100 juta, biaya penyelenggaraan pertemuan mencapai Rp 250 miliar.

Jika kita total ketiganya maka biaya pengeluaran mencapai Rp 1,82 triliun. Dengan tarif pajak hotel dan PPN sebesar 10%, maka potensi penerimaan pajak mencapai Rp 182 miliar. Angka tersebut hampir 60% dari biaya non-infrastruktur penyelenggaran AM IMF-WB 2018.

Itupun belum menghitung pengembalian uang dana talangan sewa kamar hotel dari para delegasi, pajak penghasilan, biaya sewa kendaraan, airport tax, pajak penjualan tiket pesawat, dan dampak perekonomian ke daerah lain. Sederhananya, semua uang yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan AM IMF-WB 2018 akan kembali lagi, bahkan melebihi biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Manfaat jangka panjang

 Sejatinya, manfaat terbesar yang akan diterima Indonesia bukanlah dampak langsung jangka pendek, melainkan jangka panjang. Sebagai tuan rumah, Indonesia bisa lebih leluasa mengatur agenda yang menguntungkan Indonesia. Sebagai contoh, di tengah perang dan gugatan dagang yang akhirakhir ini sering terjadi antara Indonesia dan Amerika Serikat, Indonesia bisa menyisipkan agenda yang menitikberatkan keberpihakan bagi Indonesia.

Berikutnya, di tengah pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat maka Indonesia perlu mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan penopang yang baru.

Seperti kita ketahui, rumus pertumbuhan ekonomi adalah penjumlahan konsumsi, investasi, belanja pemerintah, dan selisih antara ekspor dan impor. Beberapa tahun belakangan, konsumsi relatif stagnan, begitu pula belanja pemerintah. Apalagi neraca dagang belakangan sering defisit. Karena itu, investasi merupakan satu-satunya sumber utama yang bisa kita optimalkan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Pertemuan IMFBank Dunia merupakan momentum yang sangat baik untuk menarik investasi dunia. Kita bisa menyiapkan agenda yang mempromosikan pencapaian negeri ini dalam hal ekonomi, seperti membaiknya iklim investasi, menurunnya tingkat kemiskinan, perizinan dan birokrasi yang semakin membaik, serta potensi ekonomi Indonesia yang besar.

Selain itu, pemerintah pusat dan daerah juga sudah menyiapkan agenda wisata yang mengenalkan destinasi wisata internasional baru seperti Lombok, Labuan Bajo, Banyuwangi, dan kawasan lainnya. Jika promosi ini sukses, maka sektor pariwisata juga bisa sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi Indonesia.

Melihat potensi tersebut, pemerintah berkewajiban menjamin kelancaran berlangsungnya perhelatan akbar tersebut. Aspek yang penting adalah menjaga keamanan dan kenyamanan seperti pencegahan aksi terorisme dan penanganan aksi demonstrasi mengingat biasanya perhelatan IMF dan Bank Dunia di negara lain umumnya diwarnai dengan demonstrasi.

Lantas di tengah gempa bumi yang kerap terjadi belakangan di wilayah NTB dan Bali, penyelenggara perlu menyiapkan mitigasi bencana dengan matang. Selain itu, untuk menggenjot investasi pemerintah juga perlu mempercepat perbaikan iklim investasi seperti mempermudah pembebasan lahan, dan debottlenecking perizinan investasi di daerah.

Akhir kata, alih-alih mempermasalahkan anggaran biaya penyelenggaran pertemuan IMF dan Bank Dunia 2018, kita bisa menganggap biaya tersebut sebagai investasi yang sangat menguntungkan. Indonesia seharusnya patut berbangga dan beruntung terpilih sebagai penyelenggara mengingat ajang akbar ini memiliki manfaat yang besar bagi negara baik dalam jangka pendek dan panjang.•

Nika Pranata Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi