Biaya provisi gerus laba bersih CIMB Niaga



JAKARTA. PT Bank CIMB Niaga Tbk mengaku laba bersih sampai semester pertama 2015 ini diperkirakan menurun salah satunya disebabkan karena adanya biaya provisi. Biaya provisi tersebut berasal dari biaya yang sengaja dicadangkan untuk kredit bermasalah terutama untuk sektor batubara dan sektor yang terkait dengan batubara.

Seperti diketahui, sejak 2014, beberapa harga komoditas dunia mengalami penurunan, salah satu yang paling tajam adalah komoditas pertambangan batubara.

Direktur Strategy & Finance CIMB Niaga, Wan Razly Abdullah memperkirakan kondisi ini tidak akan terjadi sampai akhir tahun. Hal ini disebabkan karena pada semester dua, perseroan optimis bahwa akan dalam fondasi yang lebih kuat untuk tumbuh sampai akhir tahun. “Sampai akhir tahun, target laba bersih CIMB Niaga akan berkisar pada level seperti pada tahun sebelumnya,” ujar Wan Razly dalam keterangan tertulisnya kepada KONTAN, Minggu, (12/07).


Selain itu, untuk pertumbuhan kredit, sampai akhir tahun perseroan menargetkan akan menjaga berada di bawah kisaran level industri. Sedangkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga atau DPK, Wan mengharapkan berada di atas pertumbuhan kredit. Sampai akhir semester kedua, perseroan mengaku akan fokus ke pertumbuhan porsi dana murah atau CASA untuk meringankan beban bunga.

Berdasarkan laporan keuangan bulan perseroan terakhir, per Mei 2015, terlihat bahwa laba bersih CIMB Niaga mengalami penurunan 91,68% menjadi Rp 139 miliar. Padahal tercatat pendapatan bunga bersih perseroan masih mengalami kenaikan tipis 5,77% menjadi Rp 4,45 triliun. Penyebab laba bersih mengalami penurunan per Mei 2015 adalah karena pendapatan operasional selain bunga yang mengalami penurunan 22,96% menjadi Rp 1,3 triliun.

Menurut Wan Razly, pendataan operasional selain bunga yang tidak maksimal diakibatkan karena turunnya fee based income sebagai imbas dari melambatnya aktivitas pasar treasury dan pemberlakuan peraturan baru mengenai bancassurance pada Maret 2014.

Laba bersih sampai Mei 2015 menurun juga disebabkan karena pendapatan beban operasional selain bunga perseroan mengalami kenaikan 14,36% menjadi Rp 4,2 triliun. Menurut Wan, kenaikan beban operasional selain bunga tersebut adalah mayoritas disebabkan karena biaya provisi. Namun, Wan tidak mau merinci berapa persen kontribusi biaya provisi terhadap kenaikan beban operasional.

Jika dilihat dari jumlah kredit yang disalurkan sampai Mei 2015, terlihat masih mengalami kenaikan sebesar 9,43% menjadi Rp 162,5 triliun. Sedangkan DPK mengalami kenaikan 14,04% menjadi Rp 179,3 triliun. Porsi DPK masih didominasi deposito yaitu sebesar 55,48% setelah itu CASA menempati posisi kedua yaitu 44,52%.

Menurut Wan, di Mei 2015, posisi LDR perseroan mengalami posisi overlikuid. Wan menjelaskan walaupun jumlah kredit yang disalurkan mengalami kenaikan secara yoy, namun masih di bawah pertumbuhan DPK. Hal ini menurut Wan disebabkan karena perlambatan ekonomi yang terjadi pada lima bulan pertama 2015 ini.

Ke depannya, Wan berharap, bahwa beberapa kebijakan pemerintah seperti aturan Loan to Value LTV dan Loan to Funding Ratio LFR, akan membantu memberikan katalis pertumbuhan perseroan ke depan. Apalagi menurut Wan, kebijakan LFR yang baru diterbitkan awal bulan ini, diperkirakan akan memberikan ruang yang lebih besar kepada bank untuk menyalurkan pinjaman. “Namun hal ini juga bergantung pada kondisi pasar yang harus mendukung,” ujar Wan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto