Terbongkarnya kasus proyek simulator kemudi di Korlantas Polri, tidak hanya mengungkap sisi gelap pelaksanaan tender dan mark up nilai proyek. Perkara yang menyulut konflik antara petinggi Polri dan KPK itu juga menyisakan kisah dugaan ketidak hati-hatian bank dalam memproses permohonan pinjaman. Kredit memang sudah lunas, tapi bukan berarti bank bisa bebas dari sorotan. Kemelut kasus simulator kemudi yang kini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyisakan kisah lain, yakni dugaan proses yang tidak berhati-hati dalam proses kredit. Seperti yang diceritakan Eric S. Paat, pengacara Sukotjo S. Bambang, pemilik PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) yang kini masuk pusaran kasus simulator kemudi ini, kasus ini bermula pada awal bulan Agustus 2010. Inovasi Teknologi Indonesia harus berbenah. Saat itu, tim penilai kredit Bank BNI akan mendatangi kantor sekaligus pabrik ITI di Jalan Bojong Raya nomor 28, Bandung,
BNI melakukan kunjungan untuk memverifikasi agunan sekaligus menilai kelayakan debitur. Ini prosedur operasi standar (SOP) baku sebelum pihak bank memberikan persetujuan kredit. Kata Eric, persiapan ITI menyambut BNI tak lazim. Bukan mempercantik diri, Sukotjo S Bambang, pemilik ITI, malah memerintahkan anak buahnya mencopot semua plang, papan nama, logo atau apapun yang berlabel ITI. Dalam hitungan hari, Sukotjo mempermak ITI menjadi PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA). Selain di Bojong, ITI juga mengoperasikan pabrik di Gempol Sari, Bandung. Perubahan ITI menjadi CMMA konon untuk mengelabui pihak bank. Maklum, yang tercatat sebagai calon debitur adalah CMMA. Perusahaan milik Budi Susanto ini mengajukan kredit modal kerja senilai Rp 100 miliar untuk pengadaan 700 unit simulator motor dan 556 unit simulator mobil. Budi tidak mengerjakan proyek tersebut, tapi mensubkontrakkannya ke Sukotjo. Makanya, ia menyulap ITI menjadi CMMA untuk meyakinkan bank. Sedikitnya, tiga kali tim analis kredit dari BNI berkunjung ke pabrik palsu milik CMMA. Mereka datang sepanjang Agustus – Oktober 2010. Budi beberapa kali ikut mendampingi. Sedang Sukotjo, tuan rumah, selalu hadir dalam pertemuan. Menurut Eric, pengacara Sukotjo, selama berkunjung, tim dari BNI hanya melihat-lihat kantor, pabrik dan kapasitas produksi. "Klien kami (Sukotjo) tidak pernah menyerahkan dokumen ataupun akta hukum tentang pemilikan pabrik atau status tanah ke BNI," katanya kepada KONTAN, pekan lalu. Pada November 2010, gantian Budi dan Sukotjo berkunjung ke Menara BNI di Jalan Sudirman, Jakarta. Di kantor pusat bank BUMN itu, mereka mempresentasikan proyek pengadaan simulator dan kesanggupan menyelesaikan. Mereka juga menekankan proyek ini menggunakan alokasi anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak Polri 2011. Budi membawa surat perintah kerja proyek simulator, sebagai bukti kredit ini tidak fiktif dan ada kepastian pembayaran. Setelah penilaian kelayakan kredit selesai, Sukotjo membuat invoice atau tagihan ke CMMA. Total tagihan mencapai Rp 29 miliar dan dipecah-pecah dalam 17 kuitansi berbeda. Tapi, menurut Eric, tagihan itu sebenarnya palsu yang dibuat hanya untuk mencairkan kredit. Disebut palsu karena kuitansi itu tidak ada transaksi riilnya. "Dalam pembukuan CMMA, kuitansi dari ITI tertulis sebagai bukan tanda terima pembayaran yang sebenarnya. Hanya untuk keperluan BNI," tulis Sukotjo. BNI menyetujui dan mencairkan kredit. Proyek senilai total Rp 198 miliar ini juga sudah kelar, bendahara negara membayar lunas ke pelaksana. Artinya, kredit ini berstatus lancar. Dugaan lalai Penyelidikan KPK pada proyek ini mungkin tak akan menyeret bank ke pusaran. Sebab, BNI tak ada sangkut pautnya dengan pelaksanaan tender di Polri ataupun mark up nilai proyek yang membuat negara dirugikan lebih dari Rp 120 miliar. Namun, bukan berarti BNI terbebas dari sorotan. Jika pengakuan Sukotjo benar, BNI bisa dianggap tidak hati-hati menyalurkan kredit. Apakah disengaja atau tidak? Tugas Bank Indonesia (BI) memeriksa. Tim analis kredit misalnya, lengah memverifikasi agunan. Mereka tidak tahu, objek yang diagunkan bukan calon debitur, tapi milik orang lain yang tidak masuk perikatan kredit. Selain itu, tak ada penyerahan dokumen atau akta hukum lain yang menjelaskan status agunan. Andai petugas bank bertanya ke masyarakat di sekitar pabrik atau mengecek ke dinas perindustrian setempat, bank pasti tahu pabrik di Jalan Bojong itu milik ITI, bukan CMMA. ITI bukan pihak yang melakukan kontrak dengan Polri. Sehingga, dari aspek kehati-hatian, CMMA tidak layak menerima kredit. Manajemen BNI tak banyak berkomentar soal ini. Gatot M Suwondo tak menjawab satupun pertanyaan KONTAN. Sutanto, Direktur Risk Management BNI, menyarankan KONTAN menghubungi bagian komunikasi BNI.
Krishna R Suparto, Direktur Business Banking BNI mengatakan kredit ini lunas. "Kita mengucurkan tahap satu, lunas dibayar. Lalu mengucurkan tahap dua lunas, selesai juga," katanya. Menurutnya, kredit mengucur di 2010 dan lunas pada 2011. "Jadi sesuai surat perintah kerja dan dilunasi, bahwa terjadi apa-apa setelah itu kita tak campur tangan," katanya lagi. Soal nilai SPK yang lebih kecil dari nilai kredit, kata Krishna, itu bukan masalah. BNI juga mempertimbangkan kemampuan perusahaan membayar cicilan. "Mereka sudah lama menjadi nasabah kami dan buktinya mampu,” katanya. Adapun peran ITI dalam proyek ini, Krishna menegaskan pihaknya sudah mengecek semua dokumen dan memverifikasi kelayakan si calon debitur. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Edy Can