Biden galakkan energi ramah lingkungan, apa dampaknya ke emiten batubara dan CPO?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam hitungan jam, Amerika Serikat (AS) akan memiliki pemimpin baru. Joseph ‘Joe’ Biden telah dinyatakan sebagai pemenang pemilihan presiden dan akan dilantik pada Rabu (20/1).

Biden, selama kampanye, turut menyuarakan perubahan untuk Negeri Paman Sam, yang berbeda dengan pendahulunya, Donald Trump. Salah satu reformasi kebijakan yang dikampanyekan Biden adalah di bidang energi. Arah kebijakan energi Biden lebih mengandalkan energi bersih dan terbarukan, dan akan semaksimal mungkin menekan penggunaan energi fosil dan tidak ramah lingkungan.

Biden akan menjadikan perubahan iklim sebagai prioritas serta bergabung kembali dengan Perjanjian Iklim Paris (Paris Agreement). Perjanjian ini merupakan salah satu kesepakatan internasional yang dibuang presiden sebelumnya.


Analis NH Korindo Sekuritas Indonesia Maryoki Pajri Alhusnah mengatakan, AS sudah menurunkan konsumsi energi fosil seperti batubara saat ini. Ke depan, Negeri Adidaya ini akan akan terus menurunkan konsumsi batubaranya dan akan meningkatkan konsumsi energi terbarukan (renewable energy).

Baca Juga: Jelang pelantikan Biden, Kemendag: Indonesia tetap bangun kerja sama dengan AS

Diperkirakan, kinerja ekspor batubara Indonesia terhadap kebijakan ini juga tidak akan terdampak secara langsung. Karena ekspor utama batubara Indonesia adalah ke negara India dan China. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019, jumlah ekspor batubara Indonesia ke India sebesar 122 juta ton sedangkan ke China sebesar 66 juta ton.

Pun begitu dengan komoditas minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).  Maryoki menilai, CPO lebih terpengaruh oleh sentimen dari Indonesia, Malaysia, China, dan India bukan sentimen yang berasal dari AS.

“Hal ini karena Malaysia dan Indonesia adalah produsen terbesar CPO, sedangkan China dan India adalah konsumen terbesar CPO,” ujar Maryoki kepada Kontan.co.id, Selasa (19/1).  Sedangkan untuk kampanye larangan penggunaan CPO di Uni Eropa juga akan memiliki efek yang minimal terhadap harga CPO.

Untuk saat ini, lanjut Maryoki, CPO masih akan mengalami ketatnya pasokan karena fenomena La Nina yang masih terjadi di negara-negara produsen CPO. Namun, Maryoki  melihat bahwa untuk produksi CPO akan meningkat  pada semester kedua 2021.

Baca Juga: Harga minyak terangkat naik karena optimisme terhadap perekonomian

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati