Bidik Kenaikan Pendapatan 15%, MIND ID Siapkan Capex Rp 267,8 Triliun hingga 2029



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mining Industry Indonesia (MIND ID) telah menyusun target pendapatan dan rencana investasi periode 2025-2029. Dalam kurun waktu tersebut, MIND ID membidik target kenaikan pendapatan konsolidasi sebesar 15,05% per tahun.

Mengutip materi paparan dalam MIND ID Commodities Outlook Through Geopolitical Impact 2025, Holding industri pertambangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini menargetkan pendapatan tahun ini bisa mencapai Rp 131,8 triliun. Kemudian akan meningkat menjadi Rp 157,2 triliun pada tahun 2025 dan mencapai Rp 265,6 triliun pada tahun 2029.

Manajemen mengestimasikan pendapatan bisa mencapai US$ 32,4 miliar pada tahun 2033 dan US$ 33 miliar pada 2034 agar bisa masuk kriteria Fortune Global 500. Adapun, pertumbuhan pendapatan MIND ID pada periode 2030-2034 diestimasikan bisa mencapai 15,52%.


Baca Juga: MIND ID Ungkap Kelanjutan IPO Inalum dan Kemungkinan IPO Freeport

Guna menyokong target tersebut, MIND ID telah menyiapkan rencana belanja modal (capex) dan pendanaan untuk periode 2025-2029. Dalam kurun waktu tersebut, MIND ID mengestimasikan capex sebesar Rp 267,8 triliun. 

Capex tersebut mencakup empat anak usahanya, yakni PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Timah Tbk (TINS) dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Artinya, estimasi capex belum menghitung kebutuhan pendaaan di PT Freeport Indonesia dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO).

Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID, Dilo Seno Widagdo mengungkapkan pengembangan komoditas masih akan fokus pada pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik alias Electric Vehicle (EV). Di sisi lain, Dilo menyoroti prospek pasar dan harga komoditas secara umum akan berkaitan dengan dinamika geo-politik global.

Baca Juga: MIND ID Ungkap Hilirisasi Topang Kinerja Keuangan Perusahaan

Termasuk efek kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang dinilai akan memberikan ruang terhadap komoditas berbasis natural resources atau energi fosil. Faktor lainnya adalah kebijakan proteksi dagang yang diterapkan oleh sejumlah negara.

Dilo lantas mencontohkan pertumbuhan permintaan EV yang tidak sesuai target. "Jadi kalau misalnya kemarin sama tahun ini growth EV sekitar 18%-an. Masih ada pertumbuhan, tapi itu sebenarnya di bawah proyeksi growth yang mungkin di 22%," ungkap Dilo, Selasa (26/11).

Menurut Dilo, pertumbuhan EV yang tidak sesuai harapan juga terkait dengan kebijakan proteksi dari sejumlah negara. Namun, Dilo mengingatkan bahwa prospek komoditas mineral khususnya nikel tidak hanya tergantung pada EV.

Ada prospek dari industri lain yang membutuhkan stainless steel seperti properti. Apalagi sektor properti di negara besar seperti China dan India kembali bergairah. "Untuk komoditas nikel kan nggak harus ke EV, tapi juga bisa ke sektor lain seperti properti. Jadi kalau pertumbuhan di EV kurang, tapi di properti masih besar," imbuh Dilo.

Terlebih, pengolahan nikel di Indonesia masih memiliki margin yang cukup untuk mencetak laba. Dilo mencontohkan biaya (cash cost) pengolahan nikel berkisar antara US$ 11.000. Dengan asumsi harga rata-rata harga nikel di level US$ 13.500 saja, maka perusahaan nikel masih dapat meraup untung.

Berbeda dengan beberapa negara lain yang cash cost produksi nikel sudah mencapai US$ 14.000. Hal ini yang menekan pasokan nikel dari Australia, Filipina hingga Eropa. Situasi ini akan ikut menekan pasokan nikel global, sehingga harga akan tetap terjaga.

Dus, Dilo pun optimistis harga nikel masih bisa bergerak naik pada tahun depan, meski tidak akan kembali mencapai ke level US$ 20.000 per ton. Sedangkan sampai tutup tahun ini, Dilo memprediksi harga nikel masih akan bergerak di level US$ 16.000 per ton. 

Selanjutnya: Indonesia Butuh Rp 794 Triliun per Tahun untuk Capai Net Zero Emision di 2060

Menarik Dibaca: Promo Alfamart Spesial Pilkada, Beli 1 Gratis 1 Es Krim-Sampo Hanya 27 November 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Putri Werdiningsih