Biji kakao Indonesia ditinggalkan para pembeli



JAKARTA. Menyedihkan. Biji kakao asal Indonesia semakin tidak diminati para pembeli di luar negeri. Beberapa negara yang selama ini menjadi importir biji kakao Indonesia mulai mengalihkan permintaan mereka ke negara-negara Afrika.

Malaysia, misalnya, sejak awal tahun ini mulai mengurangi impor biji kakao dari Indonesia. Sebelumnya, Malaysia mengimpor tak kurang dari 150.000 ton biji kakao dari Indonesia. Namun tahun ini, Malaysia paling banter hanya mengimpor 75.000 ton biji kakao saja. Hal yang sama dilakukan oleh Negeri Paman Sam, Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan laporan Bloomberg (12/7 ), sampai April 2011, AS hanya mengimpor biji kakao dari Indonesia sebanyak 7.301 ton. Jumlah ini turun 88% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Saat ini, AS lebih senang mengimpor kakao dari negara Afrika, seperti Pantai Gading, Ghana, Togo dan Nigeria.


Volume impor AS dari negara-negara itu terus meningkat, Hingga April 2011, impor AS dari negara-negara Afrika mencapai 145.394 metrik ton, atau naik 2,9% daripada periode sama tahun 2010.

Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), Zulhefi Sikumbang, mengaku sudah memprediksi kondisi tersebut. Menurutnya, biji kakao Indonesia memang semakin tidak kompetitif, baik dari sisi harga maupun kualitasnya.

Harga biji kakao Indonesia terus meningkat sebagai ekses pengenaan pajak ekspor yang ditetapkan pemerintah. Harga biji kakao Indonesia di pasar AS misalnya, saat ini sudah sekitar US$ 3.300 per metrik ton (MT). Harga ini memang masih lebih rendah ketimbang biji kakao dari negara-negara Afrika yang dibanderol US$ 3.400 per MT.

Tapi, kualitas biji kakao Indonesia kalah jauh dibandingkan negara-negara Benua Hitam itu. Kata Zulhefi, cita rasa biji kakao Indonesia kalah semerbak dari negara lain.

Pasalnya, para petani kako di Indonesia tidak melakukan fermentasi pada biji kakaonya. Sebaliknya, negara-negara Afrika getol menggalakkan fermentasi biji kakao, sehingga aroma dan cita rasanya lebih kentara. "Selisih harganya sedikit, tapi perbedaan kualitasnya jauh. Otomatis mereka memilih biji kakao dari Afrika," jelas Zulhefi kepada KONTAN, Selasa (12/7).

Hal itu diperkuat oleh melimpahnya produksi biji kakao terutama dari Pantai Gading dan Ghana. Mereka bisa memenuhi permintaan biji kakao dari AS dan negara lain dengan leluasa. Sebaliknya, produksi Indonesia menurun akibat cuaca buruk. Tahun ini saja, produksi kakao nasional diprediksi hanya 600.000 ton, turun dari produksi normal yang mencapai 800.000 ton.

Di samping itu, petani dalam negeri memang tidak berminat melakukan fermentasi biji kakao. Mereka menilai, fermentasi tidak memberikan tambahan keuntungan yang signifikan.

Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (Apkai), M. Hasyim, mengungkapkan, petani belum menikmati harga yang menguntungkan. Kini, harga kakao yang diterima petani Rp 22.000 per kilogram (kg). Harga ini memang naik daripada tahun lalu yang masih Rp 18.000 per kg.

Masalahnya, beban produksi, seperti ongkos pupuk, meningkat terus. "Jika menghitung tenaga kerja, kami masih merugi," tutur Hasyim.Hasyim tidak mau berpolemik masih rendahnya harga kakao itu disebabkan pajak ekspor. Menurutnya, petani tidak peduli biji kakaonya dibeli siapa. "Mau ekspor atau dibeli industri, yang penting laku semua dan harganya bagus," tandas Hasyim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini