Bikin usaha logistik wajib bermodal Rp 1,2 miliar



JAKARTA. Sejak Rabu (8/2) lalu, aturan Badan Usaha Angkutan Multimoda (BUAM) atau lebih dikenal sebagai bisnis logistik, mulai berlaku. Pengusaha logistik lokal keberatan dengan penerapan aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2011 tentang Angkutan Multimoda ini.

Pasalnya, perusahaan logistik lokal wajib bermodal minimal 80.000 special drawing rights (SDR). Jika dikonversi dalam rupiah, SDR 80.000 setara dengan Rp 1,2 miliar.

Asal tahu saja, penerapan batas modal minimal perusahaan logistik ini berkaitan erat dengan pelaksanaan pasar bebas jasa logistik di kawasan ASEAN tahun 2013. Indonesia tak bisa mengelaknya karena telah meratifikasi ASEAN Framework Agreement on Multimoda Transport (AFAMT). Ini adalah kesepakatan negara anggota ASEAN untuk membuka industri logistik di tiap negara.


Pemerintah berharap, lewat ketentuan batas minimal modal perusahaan logistik, pengusaha lokal bisa bersaing dengan dengan pemain asing. Persoalannya, ketentuan ini memberatkan pebisnis logistik lokal. Menurut Theo Kumaat, Direktur Eksekutif Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), dari sekitar 3.000 perusahaan logistik anggota ALFI, 75% atau sebanyak 2.250 perusahaan tergolong usaha kecil dan menengah (UKM) bermodal minim.

Sulit mencari modal

Theo khawatir, ketentuan ini bakal mempersempit ruang gerak pebisnis logistik lokal. Jika harus bersaing dengan perusahaan logistik besar, terutama pemain asing, pebisnis logistik lokal bakal mati angin.

Pengusaha logistik lokal sudah berusaha mencari jalan keluar lainnya. Misalnya, mereka mencari pinjaman ke perbankan demi memenuhi batas minimal permodalan. Persoalannya, "Sampai detik ini belum ada satupun bank yang mau memberikan pinjaman," keluh Theo kepada KONTAN, Rabu (8/2).

Menurut Mahendra Rianto, Manajer Pengembangan Bisnis PT Cardig Logistic Indonesia yang juga Wakil Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), persoalan lain yang seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah adalah ongkos logistik lokal yang relatif lebih mahal. Ini terjadi akibat buruknya infrastruktur transportasi di Tanah Air.

Ambil contoh biaya pengapalan satu kontainer dari Surabaya-Makassar bisa mencapai Rp 5 juta. Bandingkan dengan pengiriman yang sama dari Surabaya ke Port Klang, Malaysia atau ke Singapura cuma US$ 250-US$ 300 atau sekitar Rp 2,5 juta.

Nah, menurut Mahendra, dari 1.000 anggota ALI, cuma 20 perusahaan yang mampu bersaing dengan asing. "Biaya tinggi menjadi kendala dalam meningkatkan bisnis logistik di Indonesia," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri