Bila Indonesia Kalah dari Uni Eropa di WTO, Ini yang Bisa Dilakukan Pemerintah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan, ada kemungkinan Indonesia untuk kalah atas gugatan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Menarik ke belakang, gugatan ini muncul atas keputusan pemerintah Indonesia untuk melarang ekspor nikel mentah per awal tahun 2020. 

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengingatkan, kemungkinan kekalahan ini tetap merugikan Indonesia. Entah itu dalam jangka pendek mengenai kocek yang harus dirogoh oleh pemerintah terkait sanksi, juga jangka panjang yang berkaitan dengan potensi investasi. 

Plus, Bhima juga mengingatkan, implementasi hasil guguatan WTO ini akan berkorelasi dengan dibukanya kembali kran ekspor bijih nikel Indonesia ke perusahaan di Uni Eropa. 


Baca Juga: Bila Gugatan Soal Nikel Kalah, Ekonom: Bisa Jadi Karena Kesalahan dari Dalam Negeri

Nah, untuk mengurangi risiko tersebut, maka Bhima menawarkan hal yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, meningkatkan porsi investor domestik, khususnya badan usaha milik negara (BUMN) dalam menyerap bijih nikel untuk hilirisasi, sehingga cadangan bijih nikel yang tersedia untuk ekspor makin menipis. 

"Tujuannya, meski Indonesia kalah di WTO, tetapi ketersediaan bijih nikel terbatas dan memacu pelaku usaha di Eropa untuk melakukan relokasi hilirisasi ke Indonesia, misalnya lewat kerja sama dengan BUMN," jelas Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (11/9). 

Kedua, Indonesia bisa memberi insentif yang menarik bagi calon investor yang ingin merealisasikan investasi di ekosistem kendaraan listrik. Gugatan di WTO ini berpotensi mempengaruhi ekosistem industri kendaraan listrik, karena progresnya bisa mundur ke belakang. Bisa saja para investor kendaraan elektrik mundur dan mencari produsen bahan hilirisasi nikel yang sudah siap. 

Baca Juga: Hadapi Gugatan di WTO, Ini yang Harus Dicermati Pemerintah

Nah, dengan gula-gula insentif, Bhima berharap tidak ada calon investor yang sampai melakukan pembatalan realisasi investasi. 

Ketiga, meningkatkan bea keluar bijih nikel secara signifikan, misalnya hingga 40%. Sehingga dengan demikian, meski diperbolehkan mengekspor bijih nikel, tetapi harga yang diterima calon pembeli di pasar ekspor bisa sangat mahal. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .