JAKARTA. Lebih dari sepekan paska pemilihan legislatif (Pileg) pada 9 April lalu, peta koalisi partai politik (parpol) jelang pemilihan presiden (pilpres) Juli mendatang, perlahan mulai terkuak. Jumat (18/4), Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto menyambangi kantor DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Menteng, Jakarta Pusat. Prabowo tiba di DPP PPP sekitar pukul 14.45 WIB. Dia ditemani oleh Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon dan Sekretaris Jenderal Gerindra, Ahmad Muzani.
Kedatangan Prabowo ke markas partai berlambang Ka’bah itu, jelas bukan tanpa tujuan. Ia ingin mematangkan koalisi Gerindra dengan PPP. "Silaturahim, memastikan pembicaraan. Memastikan ke wacana dukungan (pencapresan)," kata mantan Danjen Kopassus itu saat tiba di DPP PPP. "Koalisi sudah semakin mengkristal. Ketua umum bersama pengurus DPP PPP sepakat untuk berkoalisi dengan Pak Prabowo," kata Ketua Umum PPP Suryadharma Ali. Untuk menguatkan hubungan PPP-Gerindra, Suryadharma memberikan sebuah nama spesial untuk koalisi yang tengah dijalin kedua partai: ‘Koalisi Gabah’. "PPP bukan koalisi Indonesia Raya, tapi 'Koalisi Gabah'. Garuda-Kabah (lambang partai Gerindra dan PPP)," ujar Suryadharma. Pernyataan Suryadharma itu, seperti menyalakan sinyal pemupus harapan banyak pihak akan terbentuknya koalisi partai berbasis massa Islam. Apalagi, sebelumnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) telah melempar sinyal serupa untuk merapatkan barisan ke partai nasionalis, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dalam beberapa kesempatan, para petinggi PKB telah menyatakan, bahwa partainya lebih cenderung berkoalisi dengan partai pimpinan Megawati Soekarnoputri tersebut. Simak saja pengakuan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Ia menilai, koalisi partai berbasis Islam menarik, tetapi tidak realistis. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tersebut mengatakan, masing-masing partai berbasis massa Islam memiliki calon presiden cukup kuat yang mereka ajukan. "Bukan soal setuju atau tidak (koalisi partai Islam), tapi realistisnya masing-masing punya jago yang kuat," ucap Cak Imin, sapaan Muhaimin. Soal koalisi, PKB terbuka berkomunikasi dengan partai-partai lain. Komunikasi paling intensif, kata Muhaimin, terjalin dengan Joko Widodo (Jokowi) yang diusung sebagai capres PDIP. Masa lalu parpol Islam dan nasionalis Namun, Muhaimin mengklaim, hingga saat ini kedua partai tersebut belum mencapai kata final dalam penyamaan langkah-langkah ke depan. Menurut Muhaimin, dalam pembicaraannya dengan Jokowi, belum ada permintaan yang disampaikan kepadanya untuk mendampingi Jokowi sebagai bakal cawapres di pilpres nanti. "Belum ada pembicaraan itu," kata Muhaimin. Sah-sah saja Cak Imin menyebut, tidak realitisnya koalisi parpol berbasis massa Islam karena memiliki jago kuat untuk diusung di pilpres. Namun, pernyataan itu terdengar klise. Pasalnya, kepada sebuah media elektronik, Ketua DPP PKB Abdul Kadir Karding mengungkapkan sejumlah alasan mengapa partainya lebih cenderung memilih berkoalisi dengan partai nasionalis. Pertama, pelajaran kelam nan berharga bagi PKB di masa pemilu 1999. Pendiri PKB (alm) Abdurrahman Wahid (Gus Dur) harus menelan pil pahit saat menjadi presiden keempat RI. Gus Dur, yang disokong poros tengah berbasis massa Islam saat berhasil menduduki jabatan presiden, harus meletakkan kursi RI 1 akibat adanya pemakzulan melalui Sidang Istimewa MPR tahun 2001. Pemakzulan Gus Dur itu didukung oleh anggota DPR dari fraksi partai poros tengah. Alasan kedua, menurut Karding, jika parpol berbasis massa Islam berkoalisi, sulit menentukan capres dan cawapres yang akan diusung dalam Pilpres 2014. Sebab, ya itu tadi, masing-masing parpol Islam telah memiliki capres sendiri. Ketiga, Karding menilai, elektabilitas ketokohan dari parpol Islam masih di bawah tiga capres yang telah diusung partai pemenang pileg hasil hitung cepat, yakni Jokowi, Aburizal Bakrie yang diusung Partai Golkar, dan Prabowo. Nah, jika PKB memantapkan pilihannya untuk merapat ke PDIP, maka partai berlambang kepala banteng moncong putih itu telah memiliki amunisi tambahan untuk koalisi. Sebelumnya, tiga hari usai pelaksanaan pileg, Partai PDIP langsung bergerak cepat mencari teman koalisi untuk bertarung di pilpres. Sabtu (12/4), capres PDIP Jokowi dan Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo merapat ke kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasional Demokrat (Nasdem), di Gondangdia, Jakarta Pusat. Tujuannya jelas: PDIP menggandeng partai besutan Surya Paloh tersebut untuk berkoalisi. Gayung bersambut. Nasdem secara resmi mengusung Jokowi maju di Pilpres 2014. Jadi, untuk sementara, skenario koalisi pertama yang terbentuk adalah gabungan PDIP, Nasdem dan PKB. Gabungan ketiga parpol tersebut memiliki modal suara sekitar 35%. PDIP tidak berkoalisi dengan 3 parpol Besar kemungkinan PDIP tidak akan memaksakan diri untuk berkoalisi dengan tiga parpol, yakni Gerindra, Golkar, dan Demokrat. Tiga partai tersebut kemungkinan hanya bisa akan klop dengan partai di barisan tengah, seperti PKB, PAN, Hanura, PKS dan Nasdem. Hendri Satrio, Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Paramadhina, mengatakan permasalahan koalisi antara PDIP dengan Gerindra, Golkar dan Demokrat tersebut disebabkan oleh faktor sejarah masa lalu. Dalam sejarah perpolitikan Indonesia selama ini, hubungan PDIP memang sempat tidak terlalu harmonis dengan beberapa partai. Pada masa orde baru saja, PDI yang merupakan cikal bakal PDIP pernah tidak harmonis dengan Golkar. Permasalaahan sama juga dialami oleh PDIP dengan Demokrat. Hubungan ke dua partai tersebut memanas, akibat perseteruan dua pentolan mereka: Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri. Hubungan panas juga terjadi antara PDIP dengan Gerindra setelah Prabowo Subijanto, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat menuding Megawati Soekarno Putri ingkar janji terhadapnya. Menurut Hendri, faktor konflik tersebut kemungkinan besar akan membuat PDIP sulit berkoalisi dengan Gerindra, Golkar dan Demokrat. "Kondisi PDIP ini berbeda dengan Gerindra, mereka lebih bebas, bisa memilih dengan Golkar dan Demokrat, PKS atau pun PPP," katanya. Modal suara koalisi Meski bebas memilih teman koalisi, saat ini mitra Gerindra yang baru jelas terlihat hanya PPP. Koalisi Gerindra dan PPP baru menggenggam modal suara sekitar 18%. Gerindra kemungkinan masih akan merangkul parpol menengah untuk meningkatkan modal suaranya dalam pilpres nanti. Pilihannya bisa ke Demokrat, PAN, PKS, dan Hanura. Sejauh ini, PAN kerap dihubung-hubungkan bakal berlabuh di koalisi tenda besar Gerindra. Nama Ketua Umum PAN, Hatta Rajasa digadang-gadang jadi cawapres Prabowo. Wakil Sekjen DPP PAN Teguh Juwarno tak memungkiri adanya dorongan dari kader partainya untuk menduetkan Prabowo Subianto dengan Hatta Rajasa di Pilpres 2014. "Yang jelas, memang ada keinginan daerah-daerah seperti itu," kata Teguh Juwarno Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon. Dia tak memungkiri Hatta bakal mendampingi Prabowo. "Iya tentu. Artinya, nanti ditentukan oleh koalisi. Nanti finalnya," kata Fadli. Fadli menuturkan, Gerindra dengan PAN telah lama menjalin komunikasi. Menurutnya, komunikasi dengan PAN sudah dilakukan sebelum berlangsung pemilihan umum legislatif. "Sebulan sebelum Pileg PAN-Gerindra sudah bertemu," tegas Fadli. Jika PAN benar-benar merapat ke Gerindra, maka koalisi Gerindra-PPP-PAN akan meraup modal suara sebesar 25,5%. Lalu, bagaimana dengan Golkar? Partai berlambang pohon beringin ini masih belum memberikan arah yang jelas kemana akan berkoalisi. Hanya saja, kedekatan ideologis dan sejarah yang sama dengan Hanura, bisa sedikit memberi petunjuk kedua parpol akan berkoalisi. Modal suara koalisi ini sekitar 20%. Sekertaris Jenderal Hanura Dossy Iskandar Prasetyo mengatakan, kedekatan masa lalu antara ketua umum Hanura, Wiranto dengan Golkar menjadi salah satu pertimbangannya. Meski demikian, bukan hanya itu saja yang menjadi pertimbangan Hanura. Dossy bilang, kedekatan ideologi dan kesamaan cara membangun pemerintahan menjadi faktor lebih penting. "Kita sudah melakukan pertemuan dengan Golkar, tetapi soal keputusan koalisi belum bulat," ujarnya, Selasa (15/4) ketika dihubungi KONTAN. Hanya saja, Dossy tidak menampik bahwa ada juga tawaran dari partai lain pemenang pemilihan legislatif lalu, seperti PDIP. Sayang Dossy tidak menyebutkan secara spesifik, tawaran apa yang diberikan Hanura untuk bisa meminangnya. Sisa parpol di barisan tengah yang belum jelas digadang-gadang sebagai mitra koalisi PDIP dan Gerindra, bisa menjadi pilihan Golkar. Antara lain, PKS dan Demokrat. Namun, faktor ideologi yang jadi pertimbangan antara PKS dan PDIP, memunculkan prediksi jika bandul koalisi PKS akan mengarah ke Gerindra atau Golkar. Dengan dukungan PKS, maka koalisi tenda besar yang diusung Gerindra mendapat modal suara sekitar 32,5%. Sementara bila PKS merapat ke Golkar, modal suara koalisi Golkar bertambah menjadi 27%. Dus, seperti perkiraan banyak pihak, posisi Demokrat yang masih
wait and see dalam peta koalisi menghadapi Pilpres 2014 akan menjadi ‘
king maker’. Ke mana suara Demokrat akan berlabuh? Jawabannya, mungkin, hanya Tuhan dan Ketua Umum Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tahu. Melalui sebuah video di
Youtube, yang diunggah akun "Suara Demokrat", SBY mengatakan untuk sebuah keputusan penting, terkait koalisi, ia akan menetapkan pada saat yang tepat. "Demokrat akan segera mengambil pilihan, apakah dukung capres dan cawapres tertentu atau tidak harus tertentu. Insya Allah saya akan sampaikan pandangan Demokrat dalam waktu dekat," kata SBY, Kamis (17/4). Meski pernyataan SBY terdengar pragmatis, namun publik bisa membaca arah koalisi Demokrat. Partai berlambang bintang mercy itu diperkirakan akan mendukung langkah politik sang besan SBY, yakni Hatta Rajasa yang dijagokan sebagai pendamping Prabowo. Alhasil, perolehan suara Demokrat yang mencapai 10% berhadasarkan hasil hitung cepat, akan mendongkrat modal suara koalisi tenda besar Gerindra menjadi 42,5%. Sampai di sini, gambaran peta koalisi bahwa parpol berbasis massa Islam telah merapat ke partai nasionalis semakin jelas. Nasib koalisi parpol Islam Pertanyaannya, bagaimana nasib koalisi parpol Islam tersebut? Benarkah koalisi tersebut benar-benar bubar? Belum tentu. Faktanya, pada Kamis malam (17/4), sejumlah tokoh dan pimpinan parpol serta ormas berbasis massa Islam telah melakukan pertemuan tertutup di Rumah Ratna Hasyim Ning, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Pertemuan digagas untuk menampung aspirasi yang menginginkan partai-partai ini bersatu dan mengusung calon sendiri pada Pemilu Presiden 2014. Hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain, Ketua Majelis Pertimbangan PAN Amien Rais, Presiden PKS Anis Matta, Bendahara Umum DPP PKB Bahrudin Nashori, dan Ketua DPP PAN Azwar Abubakar. Juga hadir Wasekjen PKS Fahri Hamzah, Ketua Fraksi PKS di DPR Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua MUI KH Amidhan, dan Wakil Ketua Umum PPP Emron Pangkapi. Bahkan, Amien Rais telah ‘membungkus’ koalisi parpol berbasis massa Islam itu dengan sebutan ‘Koalisi Indonesia Raya’. Ada dua skenario yang dibangun parpol Islam. Skenario pertama, merapatkan barisan untuk membangun poros baru dengan mengajukan capres dan cawapres sendiri, terlepas dari poros Jokowi dan Prabowo. Artinya, keputusan PPP untuk berkoalisi dengan Gerindra dan PKB merapat ke PDIP, bukan menjadi harga mati. Wacana berdirinya koalisi parpol massa Islam, masih terbuka peluangnya. Skenario kedua, "Ada skenario juga bahwa Islam harus dalam posisi penting untuk calon wakil presiden. Kalau pun harus, maka koalisinya partai Islam berdampingan dengan partai nasionalis yang sudah ajukan calon presiden," ujar Ketum PB HMI MPO, Puji Hartoyo Abubakar. Lantas, skenario mana yang akan dipilih parpol berbasis massa Islam dalam pertarungan di Pilpres nanti? Masih terlalu dini, memang, untuk menjawabnya. Namun, Wakil Ketua Umum DPP PAN Dradjad Wibowo menegaskan, Koalisi Indonesia Raya merupakan gabungan partai nasionalis dan partai berbasis massa Islam. Menurutnya, alasan dibentuknya koalisi ini mengingat kondisi Indonesia yang sangat majemuk, kaya akan suku, bahasa, agama, dan keragaman lainnya. "Jadi sulit ada "Superman" yang bisa seorang diri menjaga dan membangun Indonesia. Karena itu diperlukan kebersamaan dari sebanyak mungkin kekuatan politik maupun non-politik," katanya, Jumat (18/4). Oleh karena itu, Dradjad mengatakan, koalisi poros tengah yang hanya berisi partai Islam ditransformasikan menjadi koalisi besar, Koalisi Indonesia Raya. Ketika ditanya apakah koalisi Indonesia Raya akan menjadi poros keempat selain tiga poros koalisi yang mulai terbentuk, ia menampiknya. Dradjad mengisyaratkan bahwa koalisi ini masih dalam tiga poros yang selama ini diprediksi kuat membentuk kubu, yaitu pengusung Joko Widodo, koalisi pengusung Prabowo Subianto, dan koalisi pengusung Aburizal Bakrie. Jika itu terjadi, maka seperti yang disebut Puji Hartoyo, parpol berbasis massa Islam akan mengambil skenario yang kedua, yakni berkoalisi dengan parpol nasionalis. Pun demikian, jika situasi begitu dinamis, menurut Pengamat Politik dari UI Eep Saefulloh Fattah, poros tengah bisa mengubah diri menjadi poros keempat. Dengan kata lain, partai berbasis massa Islam bisa menggunakan skenario pertama yang disebut Puji Hartoyo tadi Poros ini terbentuk dari sisa partai yang masih menjaga jarak dengan tiga poros yang sudah terbangun. Terutama, ketika porosi ini tidak condong berkoalisi kepada Jokowi dan PDIP selaku partai dominan. Begitu pula dengan Jokowi dan PDIP yang tidak gesit meminta untuk ‘meminang’ mereka, karena sudah merasa cukup hanya berkoalisi dengan Partai Nasional Demokrat. Mereka juga tidak ke Prabowo maupun Ical karena keduanya juga sudah cukup. Maka, poros koalisi berbasis massa Islam bisa membuat fragmentasi sendiri dan ternyata cukup. Demokrat jadi game changer Poros keempat dalam hitungan Eep, akan melibatkan Partai Demokrat sebagai bidan dari kelahiran koalisi ini, atau dengan kata lain menjadi
game changer atau pengubah permainan. Oleh sebab itu, dengan berlanjutnya konvensi Partai Demokrat seperti keputusan yang dicetuskan langsung oleh SBY akan memberi angin segar. Eep menilai, berlanjutnya konvensi ini akan digunakan untuk banyak kepentingan. Salah satunya termasuk potensi besar untuk membentuk poros keempat tadi. “Dengan berlanjutnya konvensi Demokrat dan lahirnya poros keempat, saya bisa mengasumsikan ada potensi munculnya kandidat baru untuk capres. Tapi, kita hanya bisa berasumsi sampai Mei yang akan datang," ujar Eep. Baik Hatta Rajasa, Muhaimin Iskandar, dan paket kandidat dari PKS yang akan disodorkan, diakui Eep, masih bisa berpotensi selama mereka menjelma diri sebagai poros keempat, bukan poros tengah dan tidak berafiliasi dengan nama identitas agama. Betul, jawaban sesungguhnya memang baru akan terlihat pada 20 Mei nanti saat penyerahan batas akhir pendaftaran nama capres dan cawapres yang diusung parpol. Yang pasti, parpol pengusung capres harus memenuhi persyaratan pencalonan capres dan cawapres berdasarkan ketentuan Undang-undang No.42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Persyaratan itu tertuang dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UU No.42 Tahun 2008. Isi pasal 8 menyebutkan, capres dan cawapres diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh parpol atau gabungan parpol. Sementara pasal 9 menyebutkan, pasangan capres dan cawapres yang diajukan parpol minimal memenuhi perolehan kursi 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% suara sah nasional di Pileg. Seperti kita ketahui, berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei, tidak ada satupun parpol yang berhasil meraih suara sebesar 25% untuk mencalonkan capres dan cawapres dari internal partainya sendiri. Tiga besar parpol yang menduduki peringat teratas menurut hasil
quick count pada Pileg lalu, tidak ada yang meraup suara menembus angka 20%. PDIP yang menduduki urutan pertama perolehan suara hitung cepat hanya mendulang sekitar 19% suara, Golkar 15% dan Gerindra di kisaran 11%.
Sementara itu, empat parpol berbasis massa Islam--kecuali Partai Bulan Bintang--hanya mampu memproleh suara di kisaran 6% sampai 9%. Itu artinya, baik parpol nasionalis dan parpol berbasis massa Islam harus berkoalisi untuk mengusung capres dan cawapres. Akhirnya, baik parpol nasionalis maupun parpol Islam, bisa menjadi penentu akhir terbentuknya koalisi gabungan antarparpol untuk memenangi pertarungan Pilpres 2014. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan