KONTAN.CO.D - JAKARTA. Pemerintahan mendatang tengah menghadapi tantangan serius di sektor ketenagakerjaan. Pasalnya, angka angkatan kerja baru terus bertambah, sedangkan jumlah lapangan kerja formal malah menurun signifikan saban tahun. Berkurangnnya lapangan pekerjaan formal seiring dengan meningkatnya jumlah pekerja di sektor informal. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pekerja setengah pengangguran atau yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu atau berstatus masih mencari pekerjaan mencapai 12,11 juta orang per Februari 2024. Angka ini tumbuh 2,52 juta orang atau naik 26,28% dibandingkan Februari 2023.
Kemudian, penduduk Indonesia yang bekerja pada kegiatan informal tercatat 84,13 juta orang atau setara 59,17% dari total jumlah penduduk pekerja yang mencapai 142,18 juta orang per Februari 2024.
Baca Juga: Ekonomi Indonesia Masih Terjebak di 5%, DPR Beri Catatan untuk RAPBN 2025 Berdasarkan data BPS per Februari 2024, pekerja di Indonesia didominasi oleh lulusan sekolah dasar (SD) ke bawah dengan 51,95 juta pekerja. Angka tersebut 36,54% dari total penduduk bekerja yang sebesar 142,18 juta orang. Gambaran ini memberikan fakta bahwa kulitas tenaga kerja di Indonesia masih minim pendidikan dan keterampilan. Pengamat Ketenagakerjaan Tajudin Nur Efendy mengatakan, kondisi ketenagakerjaan di Indonesia tidak sedang baik-baik saja, bahkan menghadapi krisis jika tidak ditangani secara serius. "Indonesia menghadapi dua kondisi terkait ketenagakerjaan, yakni bonus demografi dan Indonesia Emas 2024. Bila kita lalai, bonus demografi bisa berubah menjadi petaka dan Indonesia Emas 2045 hanya mimpi belaka," tuturnya saat berbincang dengan KONTAN, Kamis (11/7/2024). Menurut Tajudin, pemerintah harus serius mengurus masalah ketenagakerjaan karena bisa menjadi bom waktu di kemudian hari. Pasalnya, Indonesia Emas yang diharapkan malah jadi meledaknya penduduk tua yang justru menjadi beban negara lantaran tak produktif.
Baca Juga: Indonesia Emas: Menjaga Orang Sehat, Bukan Mengobati Orang Sakit "Minimal untuk saat ini, marak pemutusan hubungan kerja, daya beli menurun di tengah tekanan nilai tukai rupiah yang bisa mencapai Rp 17 ribu per dolar AS," ungkapnya. Dengan situasi ekonomi yang berat, Tajudin bilang, angka pengangguran sangat berpotensi terus bertambah. Sebab, angkatan kerja baru di Indonesia sebanyak 2,5 juta orang semetara serapan tenaga kerja berkisar 1-15 juta orang. Artinya, jumlah pengangguran bisa bertambah 1 juta orang per tahun. "Saya juga bertanya-tanya, Presiden Terpilih Prabowo Subianto menjanjikan 19 lapangan pekerjaan selama lima tahun. Pertanyaannya, caranya bagaimana untuk mencapai target tersebut," kritik Tajudin. Saat kampanye Pilpres 2024 lalu, Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mengklaim target penciptaan 19 juta lapangan pekerjaan merupakan hal yang masuk akal. Janji ini disebut akan direalisasikan jika pasangan calon (paslon) nomor 2 itu menang dalam Pilpres 2024. Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo mengatakan, target 19 juta lapangan pekerjaan itu termasuk penciptaan 5 juta lapangan kerja dari ekonomi hijau (green jobs).
Baca Juga: SRC dan BRI Dukung UMKM Sebagai Pendorong Pertumbuhan Ekonomi Inklusif Adapun target tersebut ditetapkan berdasarkan analisis rasio penciptaan lapangan kerja terhadap pertumbuhan ekonomi. Bahkan kata dia, target tersebut tergolong penghitungan yang hati-hati (prudent).
Untuk diketahui, Tim Daily Data Journalism Kompas menemukan jumlah lowongan pekerjaan formal di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam 15 tahun terakhir. Dari tahun 2009 hingga 2024, ketersediaan lowongan kerja di sektor formal turun dari 15,6 juta menjadi hanya dua juta pekerjaan. Studi ini menemukan bahwa dari 5,8 juta lulusan baru pada tahun 2016, 21,9% di antaranya mendapatkan pekerjaan di sektor formal, namun pada tahun 2021, hanya 13,6% dari 7,1 juta lulusan yang mendapatkan pekerjaan serupa. Tren ini menyoroti betapa sulitnya lulusan baru, khususnya Gen Z, untuk mendapatkan pekerjaan formal dibandingkan dengan Generasi sebelumnya. Selain itu, data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2017 dan 2022 mengungkapkan bahwa Gen Z menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mendapatkan pekerjaan. Penyerapan pencari kerja baru menurun, dan lulusan baru dari semua tingkat pendidikan menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencari pekerjaan Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli