Binatu cemerlang berkat strategi jitu incar hotel



Binatu alias laundry merupakan ladang bisnis yang menggiurkan. Bisnis ini berkembang, tak hanya di perkotaan, tapi sudah merambah ke berbagai pelosok daerah. Aktivitas yang padat menjadi alasan sebagian masyarakat untuk menyerahkan urusan mencuci dan menyetrika pakaian ke penyedia jasa binatu.

Tak heran bila jasa ini tumbuh subur di berbagai tempat. Bahkan, sudah banyak pemilik usaha yang menawarkan kerjasama kemitraan atau waralaba. Alhasil, persaingan di bisnis binatu semakin ketat.

Untuk tetap bertahan, beberapa pemain punya strategi tersendiri. Salah satunya menawarkan diferensiasi jasa. Para pengusaha ini memilih pasar yang khusus atau melayani konsumen dari sektor tertentu. Misalnya pasar, hotel, pabrik, dan rumahsakit.


Memang, tak semua pemilik pabrik dan rumahsakit memiliki unit khusus binatu. Sama halnya dengan hotel. Untuk hotel besar, terutama bintang lima, memang tersedia unit binatuatau laundry. Namun, itu berbeda dengan hotel-hotel kecil yang menyerahkan urusan mencuci ini ke pihak ketiga. Padahal, kebutuhan akan binatusangat besar bagi hotel.

Rachmadi Kusuma Widagda, pemilik Prima Laundry di Solo, Jawa Tengah, menuturkan, banyak hotel yang tak punya unit binatu. Bahkan di Solo, hanya hotel bintang lima yang punya unit binatu. Sisanya bekerjasama dengan pebisnis binatu.

Lantaran memakan ruang dan biaya cukup besar, hotel tak menyediakan unit binatu. Apalagi, hotel yang tingkat okupansinya tak selalu tinggi. Untuk membuat unit binatu, hotel butuh ruangan seluas sekitar 100 m2. Lalu, mereka butuh karyawan. Saat peak season, unit binatu memang beroperasi maksimal. Namun selama masa sepi tamu, pihak hotel tetap harus membayar pengeluaran binatu. “Bagian laundry dianggap fake cost oleh hotel, jadi mereka lebih memilih menambah jumlah kamar karena dianggap lebih menguntungkan,” tutur Rachmadi.

Pria berusia 39 tahun ini mulai menggeluti binatu hotel sejak awal 2013. Dari hasil risetnya, Rachmadi menyimpulkan ada beberapa kota yang potensial untuk usaha ini. Kota yang ia maksud adalah Malang, Bandung, Yogyakarta, dan Balikpapan. Namun, untuk mengawali perjalanan bisnis, Rachmadi memilih Solo sebelum berekspansi ke kota-kota lain.

Tingkat okupansi hotel di Malang sangat tinggi, mencapai lebih dari 75% per hari. Demikian juga dengan Yogyakarta dan Bandung yang memiliki tingkat okupansi rata-rata berkisar 65% hingga 70%. Lalu menyusul hotel-hotel di Solo dengan rata-rata okupansi 55%.

Tingkat okupansi dan pertumbuhan jumlah hotel yang tinggi jadi peluang menjanjikan untuk membuka usaha binatu. Di samping itu, saat ini belum banyak pemilik binatu yang benar-benar fokus menangani cucian hotel. “Sejauh ini, laundry yang benar-benar fokus melayani pihak hotel di Solo hanya Prima Laundry. Yang lain masih menjadikan pasar ini sebagai lini usaha sampingan,” ujar dia.

Padahal, peluang usahanya masih terbuka lebar. Dari satu kamar saja, setidaknya ada tujuh item yang harus dicuci setiap hari, seperti seprai, selimut, taplak meja, handuk tamu, dan keset. Selain perlengkapan kamar, Rachmadi juga menerima cucian dari ruangan restoran serta guest laundry atau cucian milik tamu hotel. Rachmadi mengatakan, dalam sehari, Prima Laundry melakukan dua kali pick up and delivery cucian untuk pihak hotel, yakni pagi dan sore.

Setidaknya ada dua faktor utama yang diharapkan pihak hotel dari pengusaha laundry. Yang pertama ialah kualitas. Lantaran menyangkut citra hotel, sudah pasti standar yang harus diterapkan sama seperti laundry professional. “Mereka sangat concern dengan kualitas, seperti derajat keputihan, kelembutan, dan kerapian item yang diserahkan untuk dicuci dan disetrika,” ujar Rachmadi.

Selain itu, pihak hotel sangat mengharapkan ketepatan waktu pengambilan dan pengiriman cucian. Apalagi ketika peak season. Sebisa mungkin pihak hotel tidak kehabisan stok linen untuk tamu.

Bila dua prasyarat tersebut bisa dipenuhi oleh pemilik binatu, barulah boleh bicara soal harga. Rachmadi mematok tarif cucian Rp 1.000–Rp 5.000 per potong. Dalam sehari, ada 600 potong atau sekitar 1 ton cucian yang dia kerjakan. Dari bisnis ini, ia bisa mengantongi omzet Rp 35 juta–Rp 40 juta saban bulan. Adapun laba bersih yang diterimanya sekitar 20%.

Melihat potensi bisnis binatu hotel, Rachmadi sudah berencana membuka gerai terbarunya di Bandung. Menurut estimasinya, investasi untuk binatu barunya memakan sekitar Rp 2,5 miliar. “Karena market di Bandung lebih bagus daripada di Solo, jadi saya investasi lebih besar untuk mendapat hasil lebih besar pula,” tandas dia.

Diferensiasi jasa binatu juga dilakukan Winarto, pemilik CV Winco Indonesia. Semula ia hanya menerima binatu kiloan untuk konsumen ritel. Lantaran lokasi usahanya di Karawang, ia melihat potensi membesarkan usaha laundry miliknya dengan menerima jasa cuci dari pabrik sekitar.

Dus, Winarto mendirikan gerai khusus yang menampung cucian untuk pelanggan pabrik. Dalam perkembangannya, ia juga menerima klien dari pihak hotel karena ada permintaan.

Menurut Winarto, peluang usaha binatu pabrik dan hotel sangat terbuka lebar karena kompetitor di bisnis ini masih jarang. Sementara, permintaannya banyak sekali. Hingga kini, Winarto sudah mendapat penawaran dari 10 pabrik dan hotel. “Kami belum bisa ambil semua karena kapasitas workshop kami masih terbatas,” ujarnya.

Untuk klien pabrik, barang yang dicuci di binatu ialah seragam kerja karyawan, seperti kaus, kemeja, dan topi. Adapun untuk klien hotel, Winarto menerima cucian berupa linen, yakni seprai, bedcover hingga pakaian tamu.

Lantaran para klien memberikan cucian dalam jumlah yang besar, Winarto memberi harga sedikit lebih murah. Untuk klien ritel, ia memberlakukan tarif cuci dan setrika Rp 7.000 per kg. Sementara itu, klien dalam partai besar, tarif cuci dan setrika Rp 6.900 per kg.

Setiap hari cucian yang datang di binatu Winarto rata-rata 100 kg–300 kg. Jadi, ia bisa meraup omzet sekitar Rp 30 juta–Rp 35 juta per bulan, dengan laba bersih 20%–25%.

Investasi mesin

Apakah Anda tertarik menjajal bisnis ini? Sebenarnya, tidak banyak perbedaan antara binatu ritel atau binatu kiloan dengan binatu hotel atau pabrik. Mesin yang digunakan sama saja, yakni mesin cuci dan mesin pengering. Akan tetapi, karena harus mencuci dalam jumlah besar, usahakan untuk memiliki mesin cuci yang memiliki kapasitas besar. Tujuannya, untuk mempercepat proses pencucian. Apalagi, ujar Rachmadi, klien butuh hasil cucian datang tepat waktu.

Untuk memenuhi kebutuhan binatu klien, Rachmadi memiliki dua mesin cuci berkapasitas 60 kg, lima mesin cuci berkapasitas 5 kg, dan empat mesin pengering dengan kapasitas 60 kg, serta dua unit setrika roll iron. “Investasi untuk mesin tersebut berada di kisaran Rp 1,25 miliar,” ucap dia. Menurut target Rachmadi, dalam lima tahun, modal sudah kembali.

Sementara, Winarto mengeluarkan modal ratusan juta rupiah untuk membeli enam mesin cuci kapasitas 12 kg dan 12 mesin pengering berkapasitas 100 kg. “Investasi terbesar ada di mesin, selanjutnya di tempat usaha,” katanya.

Mesin yang digunakan membutuhkan ruang yang cukup luas. Untuk itu, tempat usaha laundry hotel atau pabrik pun haruslah luas. Menurut Winarto, idealnya tempat usaha di atas 200 meter persegi. “Namun, itu menyesuaikan jumlah mesin yang ada,” kata dia.

Adapun biaya yang dikeluarkan untuk bisnis binatu hotel atau pabrik ini tidak berbeda dengan laundry rumahan. Pengeluaran utama ialah untuk membayar gaji karyawan. Sementara itu, belanja terbesar ialah bahan kimia untuk mencuci, seperti detergen, softener, dan sour (penetral). Untuk menekan biaya produksi, bahan kimia harus dibeli dari pabrik atau distributor. Bahkan, saking banyaknya pemesanan bahan kimia, Winarto juga menjadi distributor bahan kimia untuk menambah penghasilan.

Rachmadi menjelaskan, ada perbedaan antara pola pengerjaan proses pencucian untuk binatu kiloan dengan binatu hotel. “Standar yang kami tetapkan di atas binatu kiloan, atau rumahan. Jadi dalam proses ada yang berbeda,” katanya.

Ketika cucian dari hotel tiba di workshop-nya, Rachmadi memilah cucian berdasarkan tingkat kotor, yaitu ringan hingga berat. Setelah itu, cucian ditimbang lalu dimasukkan dalam mesin cuci. Selain diberikan detergen, dalam mesin cucian pun diberi oxybright untuk mencerahkan warna kain. Lalu, diberi bahan penetral agar bahan kimia tidak lagi menempel pada kain.

Selanjutnya, cucian diberi softener dan diperas sebentar, sebelum dimasukkan dalam mesin pengering. Proses pencucian ini berlangsung dalam waktu 45 menit hingga sejam untuk cucian seberat 60 kg.

Proses pengeringan di mesin hanya berlangsung selama 10 menit. Pasalnya, pengeringan kain hingga 100% kering ada pada proses setrika. Untuk memudahkan proses setrika, Rachmadi menggunakan steam iron berukuran 3,8 meter. Dia bilang, mesin ini bisa diimpor dari Thailand atau China.

Winarto menambahkan, jika mesin dan tempat usaha sudah beres, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan, yakni mobil niaga. “Kalau mau beli mobil niaga, sesuaikan dengan permintaan laundry. Semakin banyak, mau tak mau mobil ditambah, walau tak harus banyak agar biaya produksi tetap efektif,” pungkas dia.

Terapkan strategi pemasaran door to door

Meskipun permintaan binatu hotel dan pabrik membeludak, bukan berarti para pemain di bisnis ini tak punya strategi pemasaran. Untuk menjaring klien, masing-masing pelaku usaha punya cara tersendiri. Bagi Rachmadi Kusuma Widagda, pemilik Prima Laundry di Solo, cara paling ampuh ialah dengan pemasaran door to door.

Pria berusia 39 tahun ini tak ragu mendatangi hotel-hotel di Solo untuk menawarkan jasanya. Langkah ini dilakukan sebelum usahanya beroperasi. “Saya mau memastikan punya klien dulu sebelum Prima Laundry berjalan,” tutur dia.

Setidaknya ada enam hotel yang disambangi Rachmadi. Ia mengajukan penawaran ke bagian housekeeping. Untuk meyakinkan calon klien, Rachmadi tidak sungkan meminta sampel linen kotor dari hotel. Ia lalu mencuci linen itu agar bisa membuktikan kualitas jasanya. Atau, agar pihak hotel bisa membandingkan dengan hasil cuci binatu lain. Penetrasi pasar berlangsung selama lima bulan. Dari enam hotel yang ia datangi, ada empat yang tertarik dan bekerjasama dengannya.

Pemasaran door to door ini juga pernah dicoba oleh Winarto, pemilik Winco Indonesia. Namun, setelah setahun menawarkan jasa dari satu pabrik ke pabrik lain, ia tak mendapat respons. Lantas, ia memasang iklan di internet. Tak lama, beberapa pihak pabrik menghubungi untuk menjalin kerjasama dengannya. “Kalau mau kerjasama dengan pabrik, usaha saya harus punya badan hukum jadi saya urus dulu,” kata dia. Dari internet, ia menjaring pabrik-pabrik di Kawarang, seperti Panasonic dan Meiwa Kogyo.                                                                   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi