KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada masa transisi peralihan pemerintahan, sebaiknya proyek-proyek kejar tayang yang tidak signifikan menjadi daya ungkit pertumbuhan ekonomi, dan pembukaan lapangan kerja, tidak dipaksakan pelaksanaan-nya. Saran tersebut disampaikan Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah dalam keterangan resmi yang diterima KONTAN, Senin (8/7). Menurutnya, hal ini perlu dilakukan agar APBN tetap sehat dan tidak membebani pemerintahan berikutnya.
Baca Juga: Pengamat Ungkap Penyaluran PMN Untuk Bayar Utang Menyalahi Aturan "Langkah ini semata mata agar ruang fiskal tetap sehat di tengah sentimen eksternal yang kurang menguntungkan, serta tidak mewariskan beban keuangan bagi pemerintahan berikutnya," ujar Said. Di sisi lain, politisi PDI-Perjuangan tersebut mengatakan, realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2024 mencapai 5,1%. Realisasi tersebut tampaknya sejalan dengan prediksi IMF yang memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun mencapai 5%. "Capaian ini ini patut kita syukuri. Sebab bangsa yang tidak bersyukur berarti kufur nikmat. Namun sebagai cermin diri, capaian pertumbuhan lima persenan selama 1 dekade ini belum cukup menjadi titian tangga untuk menuju
high income country di 2045. Dibutuhkan pertumbuhan ekonomi 6% hingga 7% tiap tahun untuk menuju ke sana," katanya. Kemudian, ia mengatakan, badai suku bunga tinggi menghantam berbagai kawasan, arusnya membawa negara
emerging market menuju gelombang pasang suku bunga.
Baca Juga: 72,5% Netizen Pesimistis Prabowo Bisa Tangani Warisan Utang Jokowi, Ini Alasannya Namun sejumlah negara peers, para tetangga sebelah bisa bertahan.
Interest rate Thailand masih sangat rendah, hanya 2,5%, dengan skor
business confidence 48 point. Malaysia
interest rate 3%,
business confidence 94 point, sedangkan Vietnam
interest ratenya 4,5% dan
business confidence 54 point. Sementara Indonesia, Said bilang,
interest ratenya mencapai 6,25% dan
business confidence hanya 14,11 point, terendah dari negara negara peers.
"Kenapa
business confidence kita rendah dibanding negara peers ? Sebab kita belum bisa keluar dari berbagai problema struktural (ekonomi biaya tinggi, ketidakpastian kebijakan, rentang birokrasi yang berbelit, tenaga kerja skil rendah, menurunnya demokrasi, dan persepsi korupsi, dll)," terang Said.
Baca Juga: Pemerintah Siapkan Aturan Untuk Lindungi Industri Tekstil RI Padahal kata Said, konfidensi bisnis yang sangat baik, akan menjadi modal bagi pemerintah dan Bank Indonesia mengelola kebijakan makro, terutama suku bunga dan nilai tukar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli