Bisa Berimbas pada Ekonomi, Sri Mulyani Waspadai Sistem Perdagangan Karbon



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengantisipasi sistem perdagangan karbon yang mandatori atau emissions trading system (ETS) mulai diterapkan pada sektor energi Indonesia.

Menurutnya sistem tersebut bisa berimbas pada guncangan perekonomian dan sosial di Tanah Air.

Sri Mulayani mengatakan, dalam proses melakukan transformasi energi ke energi hijau tidaklah mudah. Meskipun tujuannya baik yakni untuk meningkatkan perekonomian agar konsisten dengan komitmen menurunkan CO2, namun tetap harus dilakukan dengan hati-hati.


“Ini karena setiap perubahan  pasti menimbulkan shock, utamanya dari sisi sosial, ekonomi dan juga financial seminimal mungkin. Untuk itu dilakukan secara bertahap adalah pilihan,” tutur Sri Mulyani dalam agenda Green Economy Forum 2023, Selasa (6/6).

Baca Juga: Luhut Pandjaitan Sebut Belum Ada Komitmen Nyata Dunia Mewujudkan Dekarbonisasi

Untuk diketahui, salah satu terobosan pemerintah untuk transformasi menuju ekonomi hijau adalah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No 98 Tahun 2021, tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.

Beleid tersebut penting untuk menyiapkan dua instrumen, yaitu sistem perdagangan karbon yang sifatnya mandatory dan offsetting, serta berbasis non perdagangan yang diperkenalkan melalui result based payment.

Menurutnya, untuk meminimalisasi dampak negatif dari perdagangan karbon, pemerintah menerapkan kebijakan ini secara bertahap, yakni dimulai dari sektor energi melalui penerbitan Peraturan Menteri ESDM No 16 Tahun 2022.

Pemerintah telah menetapkan 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berpotensi ikut ETS pada tahun 2023, dengan total kapasitas 33.565 MW atau 86% dari total PLTU di Indonesia yang akan mengikuti ETS.

Baca Juga: Kurangi Jejak Karbon, EDGE DC Gunakan Standar Data Center 100% REC dari PLN

“Ini adalah kemajuan, berarti para PLTU ini paham mereka menghasilkan energi yang dibutuhkan ekonomi dan masyarakat, tapi juga mengeluarkan emisi CO2 yang memperburuk perubahan iklim dunia,” jelasnya.

Sementara itu, pemerintah juga akan menetapkan pajak karbon dengan tarif yang telah diamanatkan melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), dengan menetapkan tarif pajak karbon minimal Rp 30 per kilogram CO2 ekuivalen.

Menurutnya, penerapan pajak karbon tersebut akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati, artinya dampak positifnya diinginkan tapi dampak negatif dari setiap instrumen juga diperhatikan. Sehingga ekonomi Indonesia mampu berlanjut dari pertumbuhan stabilitas dan mampu bertransformasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli