Bermula dari sekadar memenuhi kebutuhan hidup, usaha bisnis pakaian Adrilsyah Adnan menggurita. Ia memproduksi puluhan ribu pakaian untuk remaja setiap bulan lewat empat merek. Tiap bulan, omzet usahanya bisa mencapai Rp 2 miliar.Jika berkunjung ke Parahyangan Plaza, Bandung, Anda akan menyaksikan betapa pesatnya perkembangan industri pakaian di kota itu. Ada ratusan distribution outlet (distro) yang menawarkan produk dengan model dan merek eksklusif. Di antaranya adalah merek 74 dan Magma. Dua merek itu termasuk merek lama di bisnis distro Kota Kembang. Bahkan, merek itu merupakan pionir bisnis distro di Parahyangan Plaza. Pemiliknya adalah Adrilsyah Adnan atau biasa disapa Adril. Selain dua merek tadi, pria ini juga memiliki merek pakaian Warning dan Camo yang banyak dijual di kawasan Cihampelas.Tebak, berapa banyak kapasitas produksi Adril saat ini? Agak sulit membayangkannya. Saat ini, ia mampu memproduksi 40.000 aneka produk sandang, mulai topi, kaus, celana, jaket, sandal, sampai tas per bulan. Adril mendesain sendiri semua produk itu. Harga jual produk Adril sangat beragam. Topi ia banderol Rp 50.000, kaus Rp 85.000 sampai Rp 100.000, dan celana antara Rp 175.000–Rp 210.00 per helai. Sementara, harga jaket sekitar Rp 180.000, sandal Rp 65.000–Rp 70.000, dan tas Rp 90.000–Rp 250.000. Dalam sebulan, pria kelahiran 12 Desember ini mampu meraup omzet sampai Rp 2 miliar.Sebelum mereguk kesuksesan seperti sekarang, Adril harus menempuh jalan panjang. Selepas lulus dari sekolah menengah atas (SMA) pada 1995, urang awak ini merantau dari kota kelahirannya di Bukittinggi, Sumatra Barat, ke Bandung. Cita-cita awalnya adalah bersekolah di Institut Teknologi Bandung (ITB).Sayang, langkah Adril terhenti karena ia tidak lolos ujian. Tak menyerah, anak keempat dari enam bersaudara ini lantas mendaftar ke sekolah milik PT Pindad, perusahaan pembuat senjata untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kebetulan, waktu itu, ada tawaran sekolah plus ikatan dinas. Selama tiga tahun, Adril berhasil melampaui pendidikan di Pindad. Tapi, krisis ekonomi membuat impiannya buyar lagi. Setelah lulus sekolah, Pindad justru tengah mengurangi karyawan. Adril yang berstatus baru lulus pendidikan tak bisa ditampung oleh Pindad. “Jujur saya akui, saat itu, saya sangat kecewa dan hampir putus asa,” kenangnya getir.Meski gagal, Adril tak lantas memilih pulang ke kampung halaman. Ia merasa sudah cukup merepotkan sang ayah yang bekerja sebagai petani padi di kampung. Selama ini, ayahnya berjuang keras menghidupi enam anak, termasuk Adril. Adapun sang ibu sudah meninggal sejak Adril berumur sembilan tahun.Tak ingin lama-lama tenggelam dalam keputusasaan, pada 1998, Adril mencoba berjualan sweater rajut di Jakarta. Ia membeli barang itu di Bandung. Kebetulan, kala itu, sweater rajut sedang diminati. Selepas berjualan di Jakarta, ia membawa aneka topi dari pasar Tanah Abang dan Manggadua untuk dijual di Bandung. Selama setahun, kegiatan Adril adalah mondar-mandir Jakarta–Bandung sambil berbisnis pakaian.Tahun 1999, dengan modal pas-pasan dari kantong pribadi sebesar Rp 150.000, Adril mencoba menjahitkan desain topi ke seorang penjahit kenalannya. Ia lantas menjual topi itu di Cihampelas, Bandung. Ia memutar modal awal itu sampai akhirnya bisa meraup penjualan sampai Rp 1 juta.Sukses berjualan desain sendiri, semangat Adril makin membuncah. Dia melihat prospek besar di bisnis pakaian. Pada 2000, ia mulai membuat merek dagang sendiri bernama Warning. Dua tahun berikutnya, ia mengeluarkan merek 74. Tahun 2005, Magma menyusul, dan diikuti oleh merek Camo pada tahun 2006. Lantaran sudah membangun usaha sejak lama, Adril mengaku tahu benar seluk-beluk bisnis sandang di Kota Kembang; lebih-lebih soal perkembangan bisnis distro di Parahyangan Plaza. “Tahun 2000, saya membuka gerai di sana saat pusat perbelanjaan itu sepi,” katanya.Genapi 10 geraiSiapa sangka, hanya dua tahun sejak membuka gerai di Parahyangan Plaza, Adril sudah mampu menggaet pembeli grosir dari Jakarta, Bali, Sumatra, dan Sulawesi. Akhirnya, jumlah penjual di pusat belanja itu bertambah dengan cepat, dari awalnya belasan menjadi ratusan. Produk Adril tak hanya laris di Parahyangan Plaza. Di kawasan Cihampelas, produk Adril juga laris.Saat ini, Adril menjual sebagian besar produknya lewat agen. Agennya yang mencapai 130 itu tersebar di Aceh, Medan, Bengkulu, Jakarta, Yogyakarta, dan Bali. Derasnya permintaan aneka produk sandang buatan Bandung membuat bapak tiga anak ini mampu membukukan pertumbuhan omzet cukup tinggi.Namun, Adril belum puas. Pada tahun ini, ia menargetkan bisa menggenapi gerainya menjadi 10 buah. Ia sudah memilih tujuh gerai, empat di Bandung dan tiga di Purwakarta. “Tiga gerai lagi rencananya akan saya buka di Jakarta dan Makassar,” ujar Adril. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Bisnis Adrilsyah beromzet gembul dari busana anak gaul
Bermula dari sekadar memenuhi kebutuhan hidup, usaha bisnis pakaian Adrilsyah Adnan menggurita. Ia memproduksi puluhan ribu pakaian untuk remaja setiap bulan lewat empat merek. Tiap bulan, omzet usahanya bisa mencapai Rp 2 miliar.Jika berkunjung ke Parahyangan Plaza, Bandung, Anda akan menyaksikan betapa pesatnya perkembangan industri pakaian di kota itu. Ada ratusan distribution outlet (distro) yang menawarkan produk dengan model dan merek eksklusif. Di antaranya adalah merek 74 dan Magma. Dua merek itu termasuk merek lama di bisnis distro Kota Kembang. Bahkan, merek itu merupakan pionir bisnis distro di Parahyangan Plaza. Pemiliknya adalah Adrilsyah Adnan atau biasa disapa Adril. Selain dua merek tadi, pria ini juga memiliki merek pakaian Warning dan Camo yang banyak dijual di kawasan Cihampelas.Tebak, berapa banyak kapasitas produksi Adril saat ini? Agak sulit membayangkannya. Saat ini, ia mampu memproduksi 40.000 aneka produk sandang, mulai topi, kaus, celana, jaket, sandal, sampai tas per bulan. Adril mendesain sendiri semua produk itu. Harga jual produk Adril sangat beragam. Topi ia banderol Rp 50.000, kaus Rp 85.000 sampai Rp 100.000, dan celana antara Rp 175.000–Rp 210.00 per helai. Sementara, harga jaket sekitar Rp 180.000, sandal Rp 65.000–Rp 70.000, dan tas Rp 90.000–Rp 250.000. Dalam sebulan, pria kelahiran 12 Desember ini mampu meraup omzet sampai Rp 2 miliar.Sebelum mereguk kesuksesan seperti sekarang, Adril harus menempuh jalan panjang. Selepas lulus dari sekolah menengah atas (SMA) pada 1995, urang awak ini merantau dari kota kelahirannya di Bukittinggi, Sumatra Barat, ke Bandung. Cita-cita awalnya adalah bersekolah di Institut Teknologi Bandung (ITB).Sayang, langkah Adril terhenti karena ia tidak lolos ujian. Tak menyerah, anak keempat dari enam bersaudara ini lantas mendaftar ke sekolah milik PT Pindad, perusahaan pembuat senjata untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kebetulan, waktu itu, ada tawaran sekolah plus ikatan dinas. Selama tiga tahun, Adril berhasil melampaui pendidikan di Pindad. Tapi, krisis ekonomi membuat impiannya buyar lagi. Setelah lulus sekolah, Pindad justru tengah mengurangi karyawan. Adril yang berstatus baru lulus pendidikan tak bisa ditampung oleh Pindad. “Jujur saya akui, saat itu, saya sangat kecewa dan hampir putus asa,” kenangnya getir.Meski gagal, Adril tak lantas memilih pulang ke kampung halaman. Ia merasa sudah cukup merepotkan sang ayah yang bekerja sebagai petani padi di kampung. Selama ini, ayahnya berjuang keras menghidupi enam anak, termasuk Adril. Adapun sang ibu sudah meninggal sejak Adril berumur sembilan tahun.Tak ingin lama-lama tenggelam dalam keputusasaan, pada 1998, Adril mencoba berjualan sweater rajut di Jakarta. Ia membeli barang itu di Bandung. Kebetulan, kala itu, sweater rajut sedang diminati. Selepas berjualan di Jakarta, ia membawa aneka topi dari pasar Tanah Abang dan Manggadua untuk dijual di Bandung. Selama setahun, kegiatan Adril adalah mondar-mandir Jakarta–Bandung sambil berbisnis pakaian.Tahun 1999, dengan modal pas-pasan dari kantong pribadi sebesar Rp 150.000, Adril mencoba menjahitkan desain topi ke seorang penjahit kenalannya. Ia lantas menjual topi itu di Cihampelas, Bandung. Ia memutar modal awal itu sampai akhirnya bisa meraup penjualan sampai Rp 1 juta.Sukses berjualan desain sendiri, semangat Adril makin membuncah. Dia melihat prospek besar di bisnis pakaian. Pada 2000, ia mulai membuat merek dagang sendiri bernama Warning. Dua tahun berikutnya, ia mengeluarkan merek 74. Tahun 2005, Magma menyusul, dan diikuti oleh merek Camo pada tahun 2006. Lantaran sudah membangun usaha sejak lama, Adril mengaku tahu benar seluk-beluk bisnis sandang di Kota Kembang; lebih-lebih soal perkembangan bisnis distro di Parahyangan Plaza. “Tahun 2000, saya membuka gerai di sana saat pusat perbelanjaan itu sepi,” katanya.Genapi 10 geraiSiapa sangka, hanya dua tahun sejak membuka gerai di Parahyangan Plaza, Adril sudah mampu menggaet pembeli grosir dari Jakarta, Bali, Sumatra, dan Sulawesi. Akhirnya, jumlah penjual di pusat belanja itu bertambah dengan cepat, dari awalnya belasan menjadi ratusan. Produk Adril tak hanya laris di Parahyangan Plaza. Di kawasan Cihampelas, produk Adril juga laris.Saat ini, Adril menjual sebagian besar produknya lewat agen. Agennya yang mencapai 130 itu tersebar di Aceh, Medan, Bengkulu, Jakarta, Yogyakarta, dan Bali. Derasnya permintaan aneka produk sandang buatan Bandung membuat bapak tiga anak ini mampu membukukan pertumbuhan omzet cukup tinggi.Namun, Adril belum puas. Pada tahun ini, ia menargetkan bisa menggenapi gerainya menjadi 10 buah. Ia sudah memilih tujuh gerai, empat di Bandung dan tiga di Purwakarta. “Tiga gerai lagi rencananya akan saya buka di Jakarta dan Makassar,” ujar Adril. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News