Bisnis alat kesehatan melaju berkat BPJS



JAKARTA. Beroperasinya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sejak awal 2014 membuka peluang bisnis bagi industri farmasi. Selain obat, terutama obat generik, pasar alat kesehatan pun turut terdongkrak efek BPJS.

Ketua Badan Sumber Daya Manusia dan Pelatihan Gabungan Perusahaan Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Budi Prasetio bilang, berkat BPJS Kesehatan, jumlah pasien yang dilayani oleh rumah sakit bertambah banyak. "Konsumsi obat dan  alat kesehatan juga ikut meningkat," ujarnya kepada KONTAN, Senin (1/12).

Namun, alat kesehatan yang permintaannya naik hanya yang sekali pakai saja. Seperti alat suntik, infus, kantong darah, dan kateter. Sementara untuk  alat kesehatan yang pemakaiannya untuk jangka panjang seperti tempat tidur dan inkubator relatif tidak terpengaruh.


Budi menghitung,  untuk penjualan alat kesehatan sekali pakai bisa terdongkrak antara 20% sampai 30%. "Penjualan alat suntik sebelumnya hanya 1,7 juta unit sampai 1,8 juta unit per bulan. Tapi, sejak ada BPJS Kesehatan menjadi 2 juta unit per bulan," katanya memberi contoh.

Meski begitu perusahaan farmasi yang berkecimpung di bisnis alat kesehatan tidak terlalu menikmati kenaikan omzet. Maklum, margin alat kesehatan sekali pakai sangat tipis. "Bisa mendapat margin 5% saja sudah bagus," ujar Budi.

Toh, menurut Budi yang merangkap sebagai komisaris perusahaan manufaktur furniture rumah sakit PT Sarandi Karya Nugraha menilai industri alat kesehatan masih memiliki prospek yang cerah. Pendorongnya, selain BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan kini lebih memilih produk alat kesehatan buatan dalam negeri. Asal tahu saja, hingga saat ini alat kesehatan impor masih mendominasi hingga 95% di pasar dalam negeri.

Tidak secepat obat

Di sisi lain, perusahaan farmasi belum menikmati berkah kenaikan penjualan alat kesehatan sebagai imbas BPJS Kesehatan. PT Pyridam Farma Tbk, misalnya, mengakui lebih merasakan lonjakan permintaan obat ketimbang alat kesehatan. "Kenaikan penjualan alat kesehatan tidak secepat obat," ujar Steven A. A. Setiawan, Sekretaris Perusahaan Pyridam Farma.

Steven mengakui perusahaannya mengalami kenaikan permintaan obat setelah BPJS Kesehatan beroperasi. Namun dia tidak bisa menyebut prosentasenya. "Dari segi volume penjualan memang naik, tapi dari segi keuntungan sebaliknya," ujar Steven. 

Soalnya, obat yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan adalah obat generik yang harganya sudah ditentukan oleh pemerintah. Pendapat serupa datang dari Direktur Utama PT Kimia Farma (Persero) Tbk Rusdi Rosman. Dia mengeluhkan kecilnya margin obat generik. Sehingga, walaupun volume penjualan naik, tapi kenaikan omzetnya tak seberapa. "Ada pengaruhnya, tapi tidak banyak," ujar Rusdi. 

Sampai saat ini Kimia Farma belum memproduksi alat kesehatan karena masih fokus pada produksi obat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Markus Sumartomjon