Pada 2 Oktober mendatang, Indonesia akan merayakan empat tahun diresmikannya batik sebagai warisan budaya oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Para pengusaha batik mengakui, dipatenkannya batik sebagai warisan budaya membuat bisnis batik mencorong. Asal tahu saja, meski usia batik sudah mencapai ratusan tahun, popularitasnya belum sehebat empat tahun terakhir. “Dulu batik hanya dipakai sebagai sarung, tapi sekarang sudah banyak hasil modifikasi dari sehelai kain batik,” tutur Fathur Rahman, pemilik Toko Nulaba. Ia bercerita, dulu, bahkan bisnis batik pernah terhimpit. Pada tahun 1980-an merupakan masa-masa yang sulit bagi pebisnis batik di Pekalongan. Bayangkan saja, dari ribuan orang yang terjun ke bisnis batik di sana, hanya puluhan saja yang tersisa, termasuk yang di Kampung Batik Kauman. “Seingat saya di sini, toko yang bertahan dari krisis 1980-an bisa dihitung jari,” ujar Fathur.Awalnya, pada 1970-an, batik cap buatan Fathur dijual sampai ke luar negeri, meskipun melalui pihak ketiga. Biasanya, Fathur bertemu buyer atau pembeli melalui pameran kerajinan atau budaya di berbagai daerah. Nah, salah satu pembelinya di Bali menjual lagi produk tersebut ke luar negeri, seperti Amerika Serikat dan Eropa. Namun, batik tersebut dipasarkan ke lua negeri dengan menggunakan merk yang berbeda. Namun, kemunculan batik printing di tahun 1980-an menjatuhkan pamor batik asli Pekalongan. Tak ayal, sebagian besar pengusaha bangkrut karena penjualan merosot tajam. Pesanan batik di Toko Nulaba anjlok. Namun, Fathur menolak menutup usaha karena masih harus menanggung beberapa karyawan yang masih bertahan. “Kalau diibaratkan, kami harus merangkak perlahan, dengan modal yang masih tersisa,” kenangnya. Untunglah, seiring waktu, nama dan pamor batik cap alias batik asli Pekalongan mulai pulih. Kebangkitan ini mencapai puncaknya ketika pemerintah mendaftarkan hak paten batik. Minat masyarakat terhadap batik pun tumbuh pesat. Kisah serupa diceritakan Abdullah. Pengusaha batik di Kampung Kauman ini merintis usaha batik pada 1980, tak lama sebelum bisnis batik terpuruk. "Bisnis saya pun berjalan tersengal-sengal, sampai akhirnya pada 1987, saya memutuskan beralih menjadi karyawan pabrik," kisahnya. Namun, ternyata kecintaannya menghasilkan karya batik tulis membuat ia kembali menekuni bisnis batik pada 1991. Untunglah ia kembali di waktu yang tepat. "Ketika itu, pesanan batik tulis sedang banyak-banyaknya,” ujar Abdullah sumringah.Pamor batik yang kian melejit beberapa tahun terakhir pun menginspirasi warga Kauman lainnya untuk terjun ke bisnis batik. Hima Fatmawati yang baru merintis bisnis batik pada 2010 mengaku, terjun ke bisnis batik karena melihat ekonomi tetangga yang terangkat karena usaha batik. Dengan modal Rp 10 juta, ia pun membuka kios di depan rumah. “Sekarang penggemar batik banyak sekali, apalagi setiap Jumat wajib pakai seragam batik," ucap Hima. (Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Bisnis batik terdorong paten dari Unesco (3)
Pada 2 Oktober mendatang, Indonesia akan merayakan empat tahun diresmikannya batik sebagai warisan budaya oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Para pengusaha batik mengakui, dipatenkannya batik sebagai warisan budaya membuat bisnis batik mencorong. Asal tahu saja, meski usia batik sudah mencapai ratusan tahun, popularitasnya belum sehebat empat tahun terakhir. “Dulu batik hanya dipakai sebagai sarung, tapi sekarang sudah banyak hasil modifikasi dari sehelai kain batik,” tutur Fathur Rahman, pemilik Toko Nulaba. Ia bercerita, dulu, bahkan bisnis batik pernah terhimpit. Pada tahun 1980-an merupakan masa-masa yang sulit bagi pebisnis batik di Pekalongan. Bayangkan saja, dari ribuan orang yang terjun ke bisnis batik di sana, hanya puluhan saja yang tersisa, termasuk yang di Kampung Batik Kauman. “Seingat saya di sini, toko yang bertahan dari krisis 1980-an bisa dihitung jari,” ujar Fathur.Awalnya, pada 1970-an, batik cap buatan Fathur dijual sampai ke luar negeri, meskipun melalui pihak ketiga. Biasanya, Fathur bertemu buyer atau pembeli melalui pameran kerajinan atau budaya di berbagai daerah. Nah, salah satu pembelinya di Bali menjual lagi produk tersebut ke luar negeri, seperti Amerika Serikat dan Eropa. Namun, batik tersebut dipasarkan ke lua negeri dengan menggunakan merk yang berbeda. Namun, kemunculan batik printing di tahun 1980-an menjatuhkan pamor batik asli Pekalongan. Tak ayal, sebagian besar pengusaha bangkrut karena penjualan merosot tajam. Pesanan batik di Toko Nulaba anjlok. Namun, Fathur menolak menutup usaha karena masih harus menanggung beberapa karyawan yang masih bertahan. “Kalau diibaratkan, kami harus merangkak perlahan, dengan modal yang masih tersisa,” kenangnya. Untunglah, seiring waktu, nama dan pamor batik cap alias batik asli Pekalongan mulai pulih. Kebangkitan ini mencapai puncaknya ketika pemerintah mendaftarkan hak paten batik. Minat masyarakat terhadap batik pun tumbuh pesat. Kisah serupa diceritakan Abdullah. Pengusaha batik di Kampung Kauman ini merintis usaha batik pada 1980, tak lama sebelum bisnis batik terpuruk. "Bisnis saya pun berjalan tersengal-sengal, sampai akhirnya pada 1987, saya memutuskan beralih menjadi karyawan pabrik," kisahnya. Namun, ternyata kecintaannya menghasilkan karya batik tulis membuat ia kembali menekuni bisnis batik pada 1991. Untunglah ia kembali di waktu yang tepat. "Ketika itu, pesanan batik tulis sedang banyak-banyaknya,” ujar Abdullah sumringah.Pamor batik yang kian melejit beberapa tahun terakhir pun menginspirasi warga Kauman lainnya untuk terjun ke bisnis batik. Hima Fatmawati yang baru merintis bisnis batik pada 2010 mengaku, terjun ke bisnis batik karena melihat ekonomi tetangga yang terangkat karena usaha batik. Dengan modal Rp 10 juta, ia pun membuka kios di depan rumah. “Sekarang penggemar batik banyak sekali, apalagi setiap Jumat wajib pakai seragam batik," ucap Hima. (Selesai)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News