Konsisten menjadi kunci kesuksesan pasangan Ferry Yuliana dan Endro Pranowo berbisnis tas alam. Pasangan suami istri ini konsisten untuk menggunakan bahan natural dan proses pembuatan tas secara handmade. Kini, rata-rata, Gendhis Natural Bags menjual seribu tas saban bulan. Di sebuah pameran produk kerajinan, seperti Inacraft, beberapa pengunjung hanya mengincar barang dari merek yang telah mereka kenal. Boleh jadi, mereka adalah konsumen fanatik merek itu, sehingga tak ingin ketinggalan koleksi produk terbaru. Tak heran, pengunjung selalu terlihat ramai menyesaki sebagian konter.Konter Gendhis adalah salah satunya. Gerai yang menjual beraneka macam tas berbahan natural itu memang menjadi peserta tetap pameran kerajinan ini sejak 2002. Setiap tahun gerai Gendhis selalu sesak oleh kunjungan pembeli. “Inacraft menjadi awal kesuksesan saya saat merintis bisnis tas,” tutur Ferry Yuliana, pemilik Gendhis Natural Bags.Kehamilan membuka jalan bagi Ferry untuk berbisnis. Untuk menjaga kehamilannya, ia keluar dari produsen tas tempatnya bekerja. Berbekal pengalaman dan kreativitas, lulusan kedokteran gigi ini memulai sendiri usahanya di rumah. “Saya terpikir untuk membeli tas natural di Pasar Beringharjo dan menambahkan beberapa aplikasi,” ujarnya.Dengan dekorasi ulang, Ferry ingin meningkatkan nilai jual tas tersebut. Ia membeli tas-tas berbahan alam itu di pasar dan dimodifikasi, seperti ditambah hiasan dan kain pelapis di bagian dalam. Kemudian, ia membanderol harga tas baru itu Rp 100.000. Ternyata, produk tas alam itu tak langsung laku. “Awalnya, kami harus mengedukasi, kenapa tas natural itu menjadi mahal karena pembuatannya bisa dua hari dua malam,” terang dia. Saat awal merintis usaha pada 2001 silam, Ferry hanya mampu menjual lima hingga 20 tas per bulan. Pembeli hanya sebatas teman-teman dan para pemesan. Hingga di suatu titik, Ferry memutuskan untuk ikut pameran Inacraft pada 2002. Untuk ikut pameran itu, Ferry menyiapkan modal Rp 5 juta untuk menyiapkan tas-tas alam yang akan dijualnya. Ia pun terpaksa menggadaikan motornya. “Lumayan dapat Rp 8 jutaan untuk modal ikut pameran,” kenang dia. Tak lupa, Ferry pun mencari nama sebagai merek tasnya. Nama Gendhis muncul ketika Ferry dan suami, Endro Pranowo, duduk di kafe hotel dan melihat kemasan gula pasir yang dibungkus dengan kertas dengan tulisan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Mereka pun lantas mengambil nama dari sebutan gula dalam bahasa Jawa, yakni Gendhis. Nama itu pun membawa berkah. Seturut namanya, keikutsertaan perdana di Inacraft meninggalkan kesan yang manis. “Sold out! Senang sekali, 400 pieces tas terjual, diborong orang Malaysia,” seru Ferry. Tak hanya itu, Ferry pun menuai banyak pesanan dari para pengunjung pameran. Berpijak dari pameran itu, bisnis Ferry terus berkembang. Ia merekrut satu pegawai untuk membantunya. Pada 2003, produk tas natural ini mulai diekspor ke Spanyol dan Meksiko. Akhirnya, pada 2004, sang suami, Endro Pranowo ikut keluar dari pekerjaannya dan terjun ke bisnis tas. “Suami saya melihat, bisnis tas ini makin oke,” kenang Ferry. Maka, pasangan suami istri ini pun berbagi peran. Ferry memfokuskan diri pada produksi tas dan pengembangan produk, sementara Endro lebih banyak menggarap sisi pemasaran dan promosi. Meski telah berlabel Gendhis sejak 2002, penggarapan brand Gendhis sendiri baru dilakukan pada 2008. “Kami mulai menonjolkan Gendhis-nya, meski usaha kami tetap rumahan,” kata Ferry. Sejak awal, Ferry tak membuat sendiri tas-tasnya. Ia tak lagi membeli tas di pasar. Gendhis juga tak diproduksi di pabrik. Perempuan yang telah menerima upakarti di bidang kepeloporan ini melibatkan sejumlah perajin plasma yang terlebih dulu dibinanya. Kini, Gendhis mempunyai sekitar 30 plasma yang tersebar di berbagai kota, seperti Yogyakarta, Tasikmalaya, Jepara, dan Kalimantan. Setiap plasma memiliki konsentrasi pekerjaan masing-masing. Misalnya, plasma penganyam, penjahit, dan plasma yang mendapat tugas memasang aksesori.Salah satu kunci sukses Gendhis adalah konsisten pada pemakaian bahan alam, seperti rotan, bambu, pandan, mendong, serat bamban, dan yang lain, sebagai bahan tasnya. “Sekarang kami juga mengembangkan rajut, kulit dipilin dan dianyam,” tutur dia. Selain itu, Ferry mempertahankan proses pembuatan dengan keterampilan tangan (handmade). Tak lupa, ia terus mengembangkan produk. Gendhis mulai mengembangkan tas pria. “Bernuansa Nusantara, tas kulit dengan kain pelapis berbahan tenun,” terang Ferry. Di luar produk tas, Ferry mengembangkan lini baju anak-anak dan baju dewasa muslim, dengan merek Cenil dan Teja. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Bisnis Ferry dan Endro berawal dari tas Beringharj
Konsisten menjadi kunci kesuksesan pasangan Ferry Yuliana dan Endro Pranowo berbisnis tas alam. Pasangan suami istri ini konsisten untuk menggunakan bahan natural dan proses pembuatan tas secara handmade. Kini, rata-rata, Gendhis Natural Bags menjual seribu tas saban bulan. Di sebuah pameran produk kerajinan, seperti Inacraft, beberapa pengunjung hanya mengincar barang dari merek yang telah mereka kenal. Boleh jadi, mereka adalah konsumen fanatik merek itu, sehingga tak ingin ketinggalan koleksi produk terbaru. Tak heran, pengunjung selalu terlihat ramai menyesaki sebagian konter.Konter Gendhis adalah salah satunya. Gerai yang menjual beraneka macam tas berbahan natural itu memang menjadi peserta tetap pameran kerajinan ini sejak 2002. Setiap tahun gerai Gendhis selalu sesak oleh kunjungan pembeli. “Inacraft menjadi awal kesuksesan saya saat merintis bisnis tas,” tutur Ferry Yuliana, pemilik Gendhis Natural Bags.Kehamilan membuka jalan bagi Ferry untuk berbisnis. Untuk menjaga kehamilannya, ia keluar dari produsen tas tempatnya bekerja. Berbekal pengalaman dan kreativitas, lulusan kedokteran gigi ini memulai sendiri usahanya di rumah. “Saya terpikir untuk membeli tas natural di Pasar Beringharjo dan menambahkan beberapa aplikasi,” ujarnya.Dengan dekorasi ulang, Ferry ingin meningkatkan nilai jual tas tersebut. Ia membeli tas-tas berbahan alam itu di pasar dan dimodifikasi, seperti ditambah hiasan dan kain pelapis di bagian dalam. Kemudian, ia membanderol harga tas baru itu Rp 100.000. Ternyata, produk tas alam itu tak langsung laku. “Awalnya, kami harus mengedukasi, kenapa tas natural itu menjadi mahal karena pembuatannya bisa dua hari dua malam,” terang dia. Saat awal merintis usaha pada 2001 silam, Ferry hanya mampu menjual lima hingga 20 tas per bulan. Pembeli hanya sebatas teman-teman dan para pemesan. Hingga di suatu titik, Ferry memutuskan untuk ikut pameran Inacraft pada 2002. Untuk ikut pameran itu, Ferry menyiapkan modal Rp 5 juta untuk menyiapkan tas-tas alam yang akan dijualnya. Ia pun terpaksa menggadaikan motornya. “Lumayan dapat Rp 8 jutaan untuk modal ikut pameran,” kenang dia. Tak lupa, Ferry pun mencari nama sebagai merek tasnya. Nama Gendhis muncul ketika Ferry dan suami, Endro Pranowo, duduk di kafe hotel dan melihat kemasan gula pasir yang dibungkus dengan kertas dengan tulisan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Mereka pun lantas mengambil nama dari sebutan gula dalam bahasa Jawa, yakni Gendhis. Nama itu pun membawa berkah. Seturut namanya, keikutsertaan perdana di Inacraft meninggalkan kesan yang manis. “Sold out! Senang sekali, 400 pieces tas terjual, diborong orang Malaysia,” seru Ferry. Tak hanya itu, Ferry pun menuai banyak pesanan dari para pengunjung pameran. Berpijak dari pameran itu, bisnis Ferry terus berkembang. Ia merekrut satu pegawai untuk membantunya. Pada 2003, produk tas natural ini mulai diekspor ke Spanyol dan Meksiko. Akhirnya, pada 2004, sang suami, Endro Pranowo ikut keluar dari pekerjaannya dan terjun ke bisnis tas. “Suami saya melihat, bisnis tas ini makin oke,” kenang Ferry. Maka, pasangan suami istri ini pun berbagi peran. Ferry memfokuskan diri pada produksi tas dan pengembangan produk, sementara Endro lebih banyak menggarap sisi pemasaran dan promosi. Meski telah berlabel Gendhis sejak 2002, penggarapan brand Gendhis sendiri baru dilakukan pada 2008. “Kami mulai menonjolkan Gendhis-nya, meski usaha kami tetap rumahan,” kata Ferry. Sejak awal, Ferry tak membuat sendiri tas-tasnya. Ia tak lagi membeli tas di pasar. Gendhis juga tak diproduksi di pabrik. Perempuan yang telah menerima upakarti di bidang kepeloporan ini melibatkan sejumlah perajin plasma yang terlebih dulu dibinanya. Kini, Gendhis mempunyai sekitar 30 plasma yang tersebar di berbagai kota, seperti Yogyakarta, Tasikmalaya, Jepara, dan Kalimantan. Setiap plasma memiliki konsentrasi pekerjaan masing-masing. Misalnya, plasma penganyam, penjahit, dan plasma yang mendapat tugas memasang aksesori.Salah satu kunci sukses Gendhis adalah konsisten pada pemakaian bahan alam, seperti rotan, bambu, pandan, mendong, serat bamban, dan yang lain, sebagai bahan tasnya. “Sekarang kami juga mengembangkan rajut, kulit dipilin dan dianyam,” tutur dia. Selain itu, Ferry mempertahankan proses pembuatan dengan keterampilan tangan (handmade). Tak lupa, ia terus mengembangkan produk. Gendhis mulai mengembangkan tas pria. “Bernuansa Nusantara, tas kulit dengan kain pelapis berbahan tenun,” terang Ferry. Di luar produk tas, Ferry mengembangkan lini baju anak-anak dan baju dewasa muslim, dengan merek Cenil dan Teja. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News