Akio Nitori bukan berasal dari keluarga kaya. Ia harus bekerja serabutan untuk membiayai pendidikan selama kuliah. Setamat kuliah, Akio tak berhasil menjadi pegawai kantoran. Ia lalu melirik bisnis mebel. Namun karena tak terlalu bagus soal pelayanan, toko pertama furnitur miliknya tak berjalan mulus. Saat memutuskan menikah, Akio banyak mendapatkan hikmah. Sang istrinya menegur saat ia malas, termasuk membantunya melayani pelanggan. Tak ada yang lahir dalam kesempurnaan, tapi setiap orang bisa berusaha untuk menjadi lebih baik. Pelajaran tersebut bisa diambil dari perjalanan hidup Akio Nitori, pendiri raksasa bisnis furnitur Jepang Nitori Holding. Kini, ia masuk dalam jajaran orang paling tajir di Negeri Matahari Terbit dengan kekayaan pribadi sebesar US$ 4,4 miliar versi Forbes. Menjadi sukses seperti sekarang, awalnya hanya ada dalam mimpi Akio. Ia lahir di sebuah pulau kecil di utara Hokkaido, Jepang semasa perang dunia kedua masih berkecamuk. Ia kerap mendapat masalah semasa kecil dan cenderung tidak peduli pada lingkungannya. Meski begitu, ia memiliki keinginan besar untuk bersekolah.
Bisnis furnitur merekah setelah menikah (2)
Akio Nitori bukan berasal dari keluarga kaya. Ia harus bekerja serabutan untuk membiayai pendidikan selama kuliah. Setamat kuliah, Akio tak berhasil menjadi pegawai kantoran. Ia lalu melirik bisnis mebel. Namun karena tak terlalu bagus soal pelayanan, toko pertama furnitur miliknya tak berjalan mulus. Saat memutuskan menikah, Akio banyak mendapatkan hikmah. Sang istrinya menegur saat ia malas, termasuk membantunya melayani pelanggan. Tak ada yang lahir dalam kesempurnaan, tapi setiap orang bisa berusaha untuk menjadi lebih baik. Pelajaran tersebut bisa diambil dari perjalanan hidup Akio Nitori, pendiri raksasa bisnis furnitur Jepang Nitori Holding. Kini, ia masuk dalam jajaran orang paling tajir di Negeri Matahari Terbit dengan kekayaan pribadi sebesar US$ 4,4 miliar versi Forbes. Menjadi sukses seperti sekarang, awalnya hanya ada dalam mimpi Akio. Ia lahir di sebuah pulau kecil di utara Hokkaido, Jepang semasa perang dunia kedua masih berkecamuk. Ia kerap mendapat masalah semasa kecil dan cenderung tidak peduli pada lingkungannya. Meski begitu, ia memiliki keinginan besar untuk bersekolah.