RAJA VOUCHER Indonesia. Julukan itu agaknya layak disematkan pada diri Hengky Setiawan. Alasannya jelas, pria kelahiran Jakarta 40 tahun silam ini memang seorang pebisnis kartu alias voucher isi ulang dan telepon seluler (ponsel) yang amat sukses. Melalui PT Telesindo Shop yang berdiri sejak 2003, Hengky mengelola 500 gerai penjualan handset dan kartu isi ulang di 128 kota di seluruh Indonesia. Ia juga mengelola 36.000 peritel voucher. Mau tahu omzetnya? Mencapai angka Rp 500 miliar per tahun. Sukses yang diraih Hengky, tentu, bukan semudah menggosok nomor kupon pulsa. Ia telah merintis bisnis ini sejak 1989, ketika masih menjadi mahasiswa di Jurusan Akuntansi Universitas Tarumanegara, Jakarta. Intuisi bisnisnya muncul begitu melihat peluang besar dalam bisnis ponsel. Padahal, waktu itu ponsel masih menjadi barang mewah. Pemakainya masih terbilang ratusan. Hengky berkisah, awalnya ia menekuni usaha jual beli ponsel bekas di lingkungan kampus. “Istilahnya saya menjadi calo. Membeli ponsel bekas Rp 5 juta, lalu saya jual lagi Rp 7,5 juta,†kata dia. Naluri bisnis Hengky makin terasah tatkala pada awal 1990-an teknologi ponsel di Tanah Air mulai berkembang. Itu terutama ketika teknologi advanced mobile phone service (AMPS) mulai mengudara. AMPS merupakan teknologi telepon bergerak generasi pertama (1G), yang masih memakai sistem analog frequency division multiple access (FDMA). Hengky pun mencoba peruntungan dengan mengajukan diri menjadi subdistributor PT Electrindo Nusantara (sekarang Tel Express). Perusahaan ini merupakan distributor resmi ponsel merek Motorola. “Kemitraannya memakai sistem purchase order (PO),†kata Hengky. Untuk satu lembar PO, Hengky harus merogoh kocek Rp 8 juta. Toh, dari situ Hengky bisa memetik laba lumayan. Sebab, ia bisa menjual PO itu seharga Rp 9 juta. Rupanya, bisnis Hengky terus berbiak. Pada 1992, Hengky mendapat tawaran menjadi distributor produk back phone Motorola. Sayang, untuk merajut bisnis ini, Hengky terbentur modal. Ia pun meminjam uang kepada orangtuanya Rp 100 juta. Di luar dugaan, barang yang tadinya tidak laku terjual oleh dealer lain laris manis di tangannya. Ada sekitar 60 unit back phone yang terjual, dengan omzet sekitar Rp 300 juta per bulan. “Keuntungan satu handset rata-rata sekitar Rp 250.000,†kata Hengky. Lantaran sukses menjadi subdistributor, Hengky pun semakin dipercaya sang mitra. Maka, pada 1995 ketika teknologi global system for mobile communications (GSM) masuk ke Indonesia, ia pun ditunjuk kembali menjadi subdistributor. Ketika itu Tel Express sebagai distributor Motorola membundel (bundling) dengan operator layanan seluler PT Satelindo. Tapi, lagi-lagi, persoalan modal menjadi kendalanya. Beruntung, Hengky memiliki orangtua yang punya pengertian dan keuangan yang lumayan besar. Alhasil, ia berhasil mendapatkan modal sebesar Rp 1 miliar dari sebuah bank, dengan agunan kredit berupa Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor alias BPKB Mercedes Benz milik sang ayah. Dana pinjaman itu ia pakai untuk membuat sejumlah gerai toko demi memperluas jaringan pemasarannya. Meski begitu, ia tidak mengecewakan orangtuanya. Hengky mampu memutar modalnya hingga naik empat-lima kali lipat. “Saat itu omzet mencapai Rp 4 miliar - Rp 5 miliar per bulan,†kata dia, bangga. Namun, Hengky pernah apes juga. Ceritanya, pada 1996, ia mengikuti program Satelindo Direct. Ternyata, Satelindo salah memperhitungkan program. Padahal, operator seluler itu telah menjanjikan bonus menggiurkan bagi distributor yang memasarkan kartu selulernya. “Tapi, yang kami harapkan tidak sesuai dengan fakta di lapangan,†keluh Hengky. Akibatnya, sejumlah dealer kartu ponsel bangkrut. Tidak terkecuali bisnis Hengky. “Modal yang telah saya kumpulkan selama berbisnis handset dan kartu ponsel terkuras,†kenang ayah empat anak ini. Pun begitu, ia tak patah arang. Pada 1997, ia memutuskan kemitraan dengan Satelindo dan bergabung dengan Telkomsel sebagai dealer kartu ponsel. Berbekal duit tabungan, ia pun menaburkan modal Rp 300 juta di bisnis ini. Dalam kemitraan ini, Hengky memasarkan produk Kartu Halo Telkomsel. Anak usaha PT Telkom ini mewajibkan para dealer mendapatkan 300 pelanggan dalam waktu tiga bulan. Di sini, penjualan SIM card dan handset terpisah, karena tidak memakai sistem bundling. “Cara itu justru membuat saya untung. Penjualan handset hanya pelengkap,†kata Hengky. Untuk satu kartu Halo, modal yang ia keluarkan hanya Rp 150.000. Tapi, ia jual kembali Rp 175.000 per unit. Bahkan, kalau nomornya bagus ia lego Rp 200.000. Dalam sebulan ia mampu menjual 1.000 nomor. “Saat itu, untungnya Rp 150 juta per bulan,†kata dia. Tak mau berhenti di tengah sukses yang kini dinikmatinya, Hengky berencana untuk terus mengembangkan bisnisnya. Antara lain, mewaralabakan bendera usahanya kepada pihak lain. Selain itu, ia ingin menawarkan saham perusahaannya kepada publik untuk mendapatkan dana perluasan usaha. “Tahun ini saya menargetkan punya 1.000 gerai penjualan kartu telepon seluler,†kata Hengky, optimistis.
BANYAK filosofi dan prinsip hidup yang dianut Hengky Setiawan. Tapi, yang utama, menurutnya, adalah komitmen. Hengky bilang, ia bisa seperti sekarang karena terus menjaga komitmen kepada siapa pun, baik kepada klien bisnisnya maupun kepada pihak bank yang memberinya pinjaman modal, bahkan kepada karyawannya. Baginya, seseorang harus dapat memegang janji yang diucapkannya. “Mulutmu adalah harimaumu,†kata Hengky, bertamsil. Namun, Hengky bukan hanya setia memegang janji dan komitmen sebagai prinsip bisnis. Ia juga gemar membuka dialog dengan orang lain. Dengan cara itu, ia dapat mempelajari karakter seseorang. Pemahaman tentang karakter seseorang itulah yang menjadi modal Hengky membangun bisnis kemitraannya. Selain itu, di atas semua prinsip itu, motivasi adalah penopangnya. Dengan kacamata motivasi pula ia bisa menilai para pengelola outlet yang menjadi mitranya. Ada yang ingin sukses tanpa mau berusaha keras, tapi ada juga yang ingin maju dengan giat bekerja. Nah, untuk mitra yang mau bekerja keras, “Saya membantu memberi motivasi agar bisa sukses,†ujar dia.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News