JAKARTA. Bisnis sapi nampaknya benar-benar gurih. Wajar jika bisnis ini menyedot perhatian banyak pebisnis. Enaknya lagi, bisnis ini tidak populer di publik, meski peran pebisnis sapi krusial lantaran untuk mencukupi kebutuhan daging sapi.Minimnya perhatian serta besarnya potensi bisnis mendorong pemain bisnis ini terus bermunculan, sehingga menciptakan persaingan ketat. Makanya, tak jarang oknum-oknum dalam bisnis berbuat curang agar bisnis langgeng.Kasus suap yang menyeret hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar menguak itu. Nyatanya, bukan hanya Basuki Hariman, pebisnis sapi yang bermain dalam bisnis sapi, masih ada pemain-pemain lain yang bakal terseret kasus suap Patrialis.
Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana mengatakan, bisnis sapi impor memang menggiurkan. Tak heran, ada yang menghalalkan segala cara agar keuntungannya bisa terus mengalir. Ia mencontohkan uji materi UU 41/2014 diajukan untuk melindungi peternak lokal tapi ternyata dimanfaatkan oleh oknum importir yang ingin bisnisnya langgeng. Kehadiran mereka bisa menjauhkan Indonesia dari cita-cita swasembada daging. Hanya kata Thomas Sembiring, Ketua Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (ASPIDI) mengatakan, sejatinya kasus suap ini tak mempengaruhi bisnis importir daging. "Kendala yang kami hadapi adalah soal Surat Persetujuan Impor (SPI) yang lambat sehingga mengganggu bisnis kami," tandas Thomas, Selasa (7/3). Thomas bilang hambatan yang paling diwaspadai importir daging saat ini justru dari luar negeri. Ancaman itu adalah fluktuasi harga daging dunia dan nilai tukar rupiah yang terancam melemah di tahun ini. "Hantaman ini lebih berat daripada sekedar tudingan importir daging menjalankan bisnisnya dengan curang," ujar Thomas. Ini akan mempengaruhi impor sapi dan daging sapi. Kemplang pajak Tak hanya itu, para importir sapi kini juga dituding Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak transparan dalam membayar pajak. Hal ini menimbulkan citra bahwa importir sapi juga tak taat membayar pajak. Padahal, menurut para pebisnis sapi, bisnis yang mereka jalankan bersumber dari kuota impor yang diberikan pemerintah. Tentu saja, tak semua perusahaan bisa mendapatkan kuota impor. Direktur Eksekutif Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) Joni Liano mengatakan pebisnis sapi potong terutama
feedloter transparan dalam urusan pembayaran pajak. "Kuota impor ditentukan pemerintah sendiri. Para importir yang mendapatkan izin tak akan bisa memanipulasi pajak," ujarnya. Menurut dia, sekitar 40 perusahaan sapi potong yang tergabung dalam Gapuspindo juga selalu melaporkan realisasi impor sapi bakalan secara periodik. Dengan begitu, pembayaran pajak juga terpantau dengan mudah.
Apalagi, seluruh importir sapi bakalan ini tercatat sebagai importir terdaftar yang bisa dengan mudah dipantau pelunasan pajaknya. "Mencermati proses itu, tidak ada ruang yang memungkinkan untuk penggelapan pajak karena sudah di ambil di depan oleh pemerintah," ujarnya. Menurut hitungan Joni, bila pada pada tahun ini importir sapi bakalan dapat merealisasikan 700.000 ekor sapi bakalan dengan berat rata-rata 300 kg per ekor, maka nilai impor tersebut mencapai lebih dari Rp 10 triliun dengan potensi pajak Rp 250 miliar. Saran dia, pajak membuka lebar data pengemplang pajak di bisnis sapi. Dengan begitu, publik tak penasaran. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini