Bisnis INDF tahun ini sangat menjanjikan



JAKARTA. PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) diperkirakan akan mencatatkan peningkatan keuntungan di semester II 2010. Selain berkat momen bulan puasa dan perayaan hari raya, anak usaha mereka yang bergerak di sektor perkebunan juga bisa menyumbang pendapatan.

Namun, kinerja mereka bisa terancam kenaikan harga gandum. Sebab, sekitar 31% pendapatan INDF bersumber dari penjualan mi instan yang berbahan dasar gandum. Sepanjang tahun ini, harga gandum di Chicago Board of Trade (CBOT) telah naik 17,54% menjadi sekitar US$ 7,09 per gantang atau bushel. Kenaikan harga ini tentu menambah biaya produksi INDF. Apalagi, INDF menerapkan pola kontrak bulanan untuk pembelian gandum dari beberapa negara, seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia.

Tapi, sejatinya harga rata-rata gandum sepanjang tahun ini masih lebih rendah sekitar 10,9% ketimbang tahun lalu. Sepanjang tahun lalu, harga rata-rata gandum sekitar US$ 6,31 per gantang. Sedangkan sejak awal tahun ini hingga kemarin (17/8), harga rata-rata gandum sekitar US$ 5,62 per gantang.


Selain itu, beruntung, INDF punya strategi lain, yakni mengembangkan bisnis di luar mi instan dan makanan olahan.

Direktur INDF Thomas Tjhie menyatakan, INDF kian gencar menggarap agribisnis. Pemilik merek Indomie ini tengah mendirikan pabrik gula di Pati, Jawa Tengah, dan Sumatra Selatan yang berkapasitas 10.000 batang tebu per hari. "Tahun ini kami menganggarkan belanja modal Rp 4,2 triliun," ujarnya.

Tertopang harga CPO

Jadi, Analis Batavia Prosperindo Sekuritas Harry Wijaya menyimpulkan, lonjakan harga gandum belakangan ini tidak akan terlalu menggerus keuntungan INDF. Apalagi, sebelum puasa, INDF telah menaikkan harga jual mi instannya. "Kami yakin masyarakat akan tetap membeli mi instan, kenaikan harga bisa diterima masyarakat sebagai kompensasi dari kenaikan inflasi," dalihnya.

Kinerja INDF tahun ini juga akan ditopang oleh kenaikan harga minyak sawit atau crude palm oil (CPO), yang merupakan bisnis inti anak usahanya, Indofood Agri Resources. "Agribisnis ini diprediksi memberikan kontribusi sekitar 32% terhadap total pendapatan INDF," ujar Harry Wijaya.

Kepala Riset Bahana Securities Harry Su menambahkan, kenaikan harga gandum dapat ditutupi dengan penguatan rupiah. Bahkan, "Margin operasional bisa naik dari 13,4% menjadi 14,1%," ramalnya.

Bisnis susu INDF juga sangat menjanjikan. "Peluangnya masih terbuka lebar. Konsumsi rata-rata susu di Indonesia, setiap orang hanya 9 liter dalam satu tahun," tutur Harry Su.

Sepakat, Analis JP Morgan Stevanus Juanda menilai, bisnis susu kemasan Indomilk bisa berkembang lebih cepat ketimbang bisnis mi instan.

Alhasil, Harry Wijaya memprediksi, pendapatan INDF tahun ini mencapai Rp 42,3 triliun dengan laba bersih Rp 2,44 triliun. Adapun, Harry Su memperkirakan, pendapatannya Rp 39,41 triliun dengan laba bersih Rp 2,35 triliun.

Ketiga analis sepakat merekomendasikan beli saham INDF. Harry Wijaya mematok target Rp 4.800 per saham, sedangkan Harry Su sebesar Rp 5.050 per saham, dan Stevanus Rp 5.000 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie