Bisnis kembali bangkit di perkantoran terpadu (3)



Bisnis properti Jitendra Virwani tak selalu melaju mulus. Ia pun pernah menghadapi situasi yang berat yakni saat pasar properti India lesu, padahal ia sudah membeli lahan luas di kawasan Bengalore. Kondisi ini bahkan nyaris membuat perusahaan propertinya di ambang kebangkrutan karena penyewa minim, sementara Jitendra sudah mengeluarkan investasi besar. Untung ia jeli, melirik segmen pasar properti perkantoran bagi perusahaan multinasional.

Lewat bendera Embassy Development Group, Jitendra Virwani berhasil menjadi miliarder di industri properti. Ia bisa mengeksekusi peluang bisnis dan memiliki pendekatan yang jitu untuk menggaet tenant. Namun bukan berarti jalan bisnisnya benar-benar mulus dari tantangan.

Seperti pengusaha pada umumnya, tantangan kerap datang menghampiri. Dan seperti pengusaha sukses lain, Jitendra berhasil melewatinya. Pengalaman itu membuatnya menjadi pengusaha yang lebih matang.


Pasar real estate kerap diwarnai dinamika naik turun. Salah satu penurunan pasar terberat yang ia rasakan adalah pada periode 1990-an. Pada saat itu pasar properti di India lesu.

Kala itu, Jitendra sedang mengerjakan dua proyek pembangunan besar, yakni Embassy Square dan Embassy Point. Dua proyek pembangunan ini akan mengokohkan namanya sebagai pemain besar di bidang properti. Namun dengan kondisi pasar yang lesu, ia harus menghadapi tantangan yang besar.

Di saat yang sama, kawasan utara Bangalore dianggap sebagai tempat potensial untuk pembangunan properti baru. Termasuk karena kepadatan yang sudah terlalu tinggi di dekat bandara Bangalore sehingga perlu tempat baru untuk dibangun. Beberapa spekulan bahkan mulai mengincar lahan di kawasan tersebut.

Jitendra pun sempat ikut-ikutan. Ia mulai membeli tanah dalam jumlah besar di kawasan tersebut. Bila ditotal ia memiliki tanah seluas 1.700 acre di utara Bangalore. Tanah seluas itu, harus ia tebus dengan harga harga sampai ribuan crore pada saat itu.

Apes, pasar lesu. Tanah yang Jitendra jajakan tak laku. Kalaupun ada, mereka meminta harga sangat rendah kepadanya. Untuk tiap acre, calon tenant hanya bersedia membayar sewa sekitar Rs 5 lakh.

Kondisi ini membuat ia nyaris menenggelamkan perusahaannya. Ia tersadar bahwa keseimbangan arus kas sangatlah penting. Dengan kondisi seperti ini ia pun berupaya keras menekan pengeluaran. Termasuk menjaga agar modal kerja Embasssy agar tidak membengkak.

Jitendra pun mencari cara agar lahan yang sudah ia beli tak mubazir. Beruntung ia menemukan celah pasar, yakni properti komersial untuk korporasi. Bisa dibilang properti untuk kebutuhan komersial tumbuh lebih stabil ketimbang hunian.

Pada awal tahun 2000, perusahaan Jitendra berangsur membaik. Ia  melakukan sejumlah inovasi untuk agar propertinya laku. Diantaranya gencar melakukan promosi pre-sales yang saat itu belum menjadi tren di Bangalore.

Memasuki tahun 2002, Jitendra makin serius menggarap pasar real estat untuk kebutuhan komersial. Kondisi ini didukung oleh mayoritas ketersediaan bangunan yang masih berdiri sendiri-sendiri. Sementara sejumlah perusahaan multinasional menginginkan fasilitas yang lebih terpadu.

Pada periode tersebut, gelontoran investasi dari perusahaan multinasional makin deras mengucur. Sementara dalam aturannya perusahaan asing ini tak boleh membeli aset perkantoran sendiri alias harus menyewa. Peluang ini ditangkap oleh Embassy dengan membangun kompleks perkantoran yang lebih terpadu sehingga bisa menampung makin gemuknya karyawan yang bekerja untuk berbagai perusahaan multinasional yang ada.

Agar bisa memaksimalkan potensi ini, ia membangun divisi khusus untuk menangani segmen ini. Dengan waktu singkat, sejumlah tenant dari perusahaan kelas dunia berhasil ia gaet.

Sejumlah proyek serupa pun Jitendra geber untuk mengantisipasi perkembangan investasi dari para perusahaan global.    

(Bersambung)

Editor: Tri Adi