Bisnis Konstruksi Masih Menantang Tahun Depan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) menyebut pertumbuhan sektor industri konstruksi masih menemui banyak tantangan tahun depan. 

Wakil Sekjen III Gapensi Errika Ferdinata mengatakan, pihaknya menyambut baik upaya pemerintah dalam akselerasi pembangunan infrastruktur dan perumahan melalui program strategis nasional.

Misal, program 3 juta rumah, pembangunan jalan tol, infrastruktur transportasi, proyek lanjutan IKN (Ibu Kota Nusantara) dan program makan bergizi gratis dengan pembangunan 80.000 dapur umum. 


Kebijakan tersebut, membuka peluang kerja besar bagi kontraktor kecil-menengah, terutama melalui mekanisme subkontrak.

Adapun tantangan utama yang akan dihadapi sektor bisnis konstruksi adalah permasalahan pembayaran. 

Baca Juga: Pengusaha Konstruksi Tolak Keras Kenaikan Tarif PPN 12% di 2025

Menurut Errika, ketidakadilan pembayaran antara kontraktor utama dan sub-kontraktor sering ditemui di lapangan. Pihak subkontraktor kerap menghadapi keterlambatan pembayaran atau bahkan penundaan pembayaran setelah menyelesaikan pekerjaan. 

Tak hanya itu, Gapensi juga mencatat hambatan berkaitan dengan pembayaran lainnya seperti nilai pembayaran yang tidak sesuai kontrak, kurangnya transparansi pembayaran, hingga perlindungan hukum yang lemah.

Menurut Gapensi, faktor-faktor tersebut hanya akan menyebabkan banyak kontraktor kecil-menengah menghadapi tekanan finansial hingga berujung pada kebangkrutan atau gulung tikar.

Tak hanya itu, Gapensi menyoroti tantangan yang dihadapi di balik kebijakan kenaikan PPN 12%. Hal ini menjadi perhatian utama asosiasi sebab berpotensi akan meningkatkan biaya material akibat PPN yang menekan margin keuntungan, khususnya bagi kontraktor berskala UMKM yang sudah memiliki margin keuntungan kecil. 

Gapensi merekomendiasikan agar ada subsidi atau insentif fiskal, terutama untuk proyek kecil dan menengah agar tetap kompetitif di tengah biaya material yang meningkat. Lalu adanya kolaborasi dan pengaturan pasar yang adil.

"Kontraktor utama harus bermitra lebih inklusif dengan subkontraktor dengan pembayaran yang tepat waktu dan transparan, tentunya," jelas Errika kepada Kontan, Senin (23/12). 

Errika mengatakan, dampak kenaikan PPN 12% terhadap biaya material adalah dapat menurunkan permintaan proyek itu sendiri baik di skala business to consumen (B2C) dan business to business (B2B). 

Tantangan lain yang dihadapi oleh Gapensi masih berkenaan dengan kontrak, yakni adanya kriminalisasi. Menurut Errika, hal ini masih menjadi persoalan yang dihadapi oleh kontraktor, terutama di lingkup proyek infrastruktur besar. 

"Hal ini ditemui di lapangan seperti penyalahgunaan hukum, sebab kontraktor kecil-menengah kerap hadapi ancaman pidana akibat ketidaksesuaian isi kontrak. Seharusnya hal itu bisa diselesaikan secara hukum adminitratif," kata Errika. 

Baca Juga: Bakal Berdampak Negatif, Gapensi Tolak Kenaikan PPN Jadi 12% pada Tahun 2025

Ia mengatakan juga ketidakpastian hukum berujung pada proses hukum yang berbelit-belit dan tidak transparan memicu keraguan kontraktor kecil. Hal tersebut juga mendorong stigma dan ketakutan untuk bersaing karena berurusan dengan hukum. 

Tahun depan, Gapensi masih sulit memproyeksi adanya pertumbuhan konerja konstruksi sebab asosiasi berharap hanya dari anggaran pemerintah. 

"Harapannya cuma dari anggaran pemerintah, jadi sebaiknya pemerintah fokus ke kontraktor UMKM yang jumlahnya banyak," ujarnya. 

Selanjutnya: BCA Finance Utamakan Pembiayaan Mobil Baru di 2025, Target Salurkan Rp 52 Triliun

Menarik Dibaca: Toyota Yaris Cross HEV Meraih Penghargaan Most Worthy Car di Uzone Choice Award 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat