Bisnis logistik berkembang pesat, tapi asing yang berjaya



JAKARTA. Tidak dipungkiri, nilai bisnis logistik terus naik. Lihat saja data-data yang disampaikan Asosiasi Perusahaan Jasa Ekspres Indonesia (Asperindo), nilai bisnis dari paket saja tahun ini bisa mencapai Rp 3,4 triliun. Belum termasuk dokumen.

Sayang, pengusaha logistik kecil di dalam negeri kurang bisa menikmati rezeki ini. Mereka kalah bersaing dengan perusahaan multinasional yang memiliki modal kuat dan jaringan yang luas. Perusahaan logistik asing masuk ke Indonesia sejak pemerintah membuka keran investasi pasca krisis ekonomi 1998.

Arman Yahya, Managing Director PT Combi Logistics Indonesia, menjelaskan, perusahaan logistik kecil susah bersaing dengan perusahaan multinasional yang membuka usahanya di Indonesia. "Tak cuma kuat di pengiriman ekspor dan impor, mereka juga masuk bisnis pengiriman barang antar pulau di Indonesia," kata Arman, Senin (28/11).


Menurut Arman, kesulitan bersaing itu karena perkara klasik, yakni keterbatasan modal dan jaringan pemasaran. Misalnya, bunga utang bank di Indonesia 12%-14% setahun. Perusahaan asing bisa mendapat utang di luar negeri berbunga 2%-3% per tahun.

Banyak pelanggan memilih logistik multinasional yang memberikan pelayanan lebih baik. Akibatnya perusahaan logistik kecil hanya bisa mengandalkan pelanggan lama. "Untuk mendapatkan pelanggan baru sangat susah dan hanya dapat order-order kecil," tutur Arman. Bahkan, Combi Logistics yang bergerak di bisnis pergudangan dan pengiriman ekspor impor terpukul. Ia terpaksa menutup cabangnya di Surabaya karena pengeluarannya lebih besar dari pendapatan.

Sahat Sianipar, Direktur Utama PT MSA Kargo, menyatakan, perusahaan multinasional terutama yang bergerak di bidang forwarding masuk sejak 15 tahun lalu. Toh, MSA bisa bertahan meski membukukan pertumbuhan hanya 2% hingga 3% per tahun.

Saat ini, banyak perusahaan logistik multinasional yang berpangsa pasar besar di Indonesia, antara lain DHL, FedEx, TNT dan UPS. Mereka bekerja sama dengan perusahaan logistik lokal misalnya Fedex dengan RPX, dan DHL dengan PT Birotika Semesta.

Menurut Arman, perusahaan-perusahaan tersebut menguasai bisnis logistik internasional seperti ekspor dan impor hingga 60% dari pangsa pasar. Sisanya sekitar 40% baru perusahaan lokal.

Perusahaan lokal memang menguasai pasar logistik di dalam negeri, dengan penguasaan sekitar 70%. Perusahaan lokal yang menguasai ceruk ini antara lain Tiki JNE, Pandu Siwi, dan Nusantara Card Semesta (NCS). Tapi, nilai bisnis logistik dalam negeri relatif kecil ketimbang bisnis pengiriman barang lintas negara.

Menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Perdagangan, Distribusi, dan Logistik, Natsir Mansyur, Indonesia merupakan pasar logistik terbesar di ASEAN sehingga banyak perusahaan asing melirik peluang ini. Apalagi Indonesia juga membuka diri terhadap investasi asing. "Jumlahnya bisa ratusan meski sebagian besar berupa kantor perwakilan saja," tuturnya.

Sayang, perusahaan logistik lokal banyak yang belum siap sehingga kalah bersaing. Maka, tanpa proteksi terhadap perusahaan lokal, Natsir memproyeksikan perusahaan logistik lokal makin terancam terutama di tahun 2015 ketika berlaku Masyarakat Ekonomi ASEAN. Saat itu, berbagai perusahaan dari setiap negara anggota ASEAN bebas membuka kantor dan memasarkan produk dan jasanya di seluruh Indonesia.

Nah, Natsir mengusulkan salah satu solusinya, perusahaan lokal bermitra dengan perusahaan multinasional. Ini dibenarkan Arman yang saat ini sedang mencari mitra dari perusahaan asing.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.