Sudah sejak zaman dulu, teh sudah menjadi minuman yang digandrungi masyarakat Indonesia. Selain rasanya yang khas, konon minuman ini juga punya manfaat kesehatan bagi tubuh. Karena pasar yang nyaris tak terbatas, tidak heran banyak yang mencari peruntungan dari bisnis minuman teh. Malah, tak sedikit yang menawarkan bisnis ini lewat skema kemitraan atau waralaba. Cuma, tidak semua kemitraan usaha minuman teh ini tak berkembang bagus. Maklum, kompetisinya sudah terbilang ketat. Tanpa strategi pasar yang kreatif dan kualitas produk yang unik, sulit bagi pemain bisnis ini mengembangkan usahanya.
Dari tiga kemitraan minuman teh yang kali ini diulas KONTAN, terlihat ada tumbuh pesat, tapi ada pula yang tumbang di tengah jalan. Berikut ulasannya: Good Tea Good Tea membuka tawaran kemitraan sejak Januari 2009. Usaha teh seduh yang berpusat di Depok, Jawa Barat, ini cukup berkembang pesat. Buktinya, saat ini Good Tea sudah memiliki lebih dari 7.000 mitra yang tersebar di 18 provinsi di Indonesia. Bukan hanya di dalam negeri, di Serawak, Malaysia juga sudah ada mitra yang membuka Good Tea. Ketika KONTAN mengulas kemitraan ini pada 2010 silam, Good Tea baru memiliki 1.200 mitra. “Sekarang, untuk kawasan Jabodetabek saja sudah lebih dari 2.000 mitra kami,” ujar Anto Ismail, GM Pemasaran Good Tea. Menurut Anto, faktor utama yang membuat bisnis Good Tea berkembang secepat kilat adalah berkat promosi di situs www.goodtea.biz. Anto bilang, sekitar 60% mitra mereka mengaku mendapatkan informasi mengenai Good Tea melalui situs itu. Saking banyaknya mitra yang tertarik, beberapa mitra membuka booth di lokasi yang berdekatan. Padahal, menurut aturan, jarak antar mitra haruslah 300 meter. Tapi, ada beberapa booth yang jaraknya cuma 100 meter. “Selama mitra-mitra tidak bermasalah, kami masih membolehkan,” tuturnya. Tahun 2010 silam, Good Tea memiliki lima paket kemitraan untuk ditawarkan ke mitranya. Paket itu antara lain, paket Silver A dengan biaya investasi Rp 4,5 juta, Silver B sebesar Rp 5,5 juta, Oaket Tricycle Booth Rp 7,5 juta, Mini Booth Rp 3,5 juta, dan Moving Booth sebesar Rp 6,5 juta. Nah, sejak Juli 2012, Good Tea menambah paket investasinya yakni Motor Booth dengan biaya investasi sebesar Rp 4,5 juta dan Golden Booth Rp 8 juta. “Sudah lebih dari 100 mitra yang mengambil paket Golden Booth,” kata Anto. Tapi, paket yang paling banyak diminati mitra ialah paket Silver A dan paket Silver B. Good Tea tak memungut biaya royalti. Namun, mitra diwajibkan membeli bahan baku dari pusat berupa bubuk teh senilai Rp 17.000 per kemasan 300 gram. Mitra juga harus membeli gelas teh seharga Rp 19.000 per 50 gelas, dan sedotan Rp 17.500 per 350 buah. Dari tiap kemasan bubuk teh 300 gram, mitra bisa menghasilkan 280 gelas minuman teh. Teh seduh Good Tea ini dijual dengan harga Rp 2.000-Rp 3.500 per gelas. Kalau bisa menjual minimal 70 gelas per hari, mitra diperkirakan sudah balik modal dalam tempo dua bulan. Arbain Group Pada Oktober 2010, KONTAN pernah mengulas tawaran kemitraan minuman teh dari Arbain Group. Kala itu, Arbain yang bermarkas di Solo, Jawa Tengah ini sudah memiliki 46 mitra. Selang dua tahun kemudian, kini mereka sudah memiliki 74 gerai, enam diantaranya milik sendiri dan 68 gerai milik mitra yang tersebar di Solo, Bandung, Ciamis, dan Yogyakarta. Sukarna Jundi, pemilik Arbain Group mengatakan, perkembangan bisnis kemitraan teh segar miliknya mengalami peningkatan karena tetap konsisten pada kualitas rasa. Agar rasanya tetap baik, maka Sukarna sangat selektif dalam memilih bahan baku. "Saya selalu mencari bahan baku yang berkualitas," ujarnya. Teh buatan Sukarna ini memiliki rasa gado-gado. Ada rasa sepet, ada harum dan juga ada pahitnya. Menurutnya, paduan rasa teh tersebut menyesuaikan dengan selera lidah masyarakat. Sukarna juga berusaha agar harga produknya tidak terlalu mahal. Maka itu, harga jual teh segar per gelas sejak 2010 tidak mengalami perubahan hingga kini yakni masih seharga Rp 2.500 per gelas. Selain teh, Arbain Grup juga memadu usaha minuman teh ini dengan menu lain yakni popcorn. Harga popcorn yang dijual juga tidak berubah yakni masih Rp 3.500 per bungkus. Menurut Sukarna, paduan menjaga kualitas dan harga yang tetap miring itu yang membuat usahanya berkembang sampai sekarang. Selain fokus pada kualitas dan harga, Sukarna bilang, waktu proses pengiriman produknya dari kantor pusat ke sejumlah mitra di daerah juga dijamin lancar dan cepat. Ia berusaha mengirim bahan baku tempat waktu sehingga si mitra tidak menunggu lama dan kecewa. Sukarna juga aktif melakukan promosi melalui media sosial. "Saya juga berusaha juga agar tampilan booth yang saya buat lebih elegan sehingga menarik minat konsumen,"tuturnya. Meskipun tidak mengalami kenaikan harga, tapi biaya investasi kemitraan mengalami peningkatan. Pada dua tahun lalu, Sukarna menawarkan paket kemitraan dengan nilai investasi Rp 6,3 juta. Namun sekarang nilai investasinya sudah naik menjadi Rp 8,9 juta. Dengan membeli paket investasi sebesar ini, mitra akan mendapatkan dua gerobak dan peralatan untuk berjualan. Sukarna juga tidak memungut biaya royalti fee dan franchise fee agar mitranya dapat meraup omzet dan balik modal dalam waktu cepat. Berdasarkan pengalaman selama ini, mitra dia umumnya sudah balik modal sesuai dengan target waktu yang dijanjikan. Bahkan ada mitra yang sudah balik modal dalam waktu dua bulan pasca beroperasi. Itu kalau si mitra bisa meraup omzet sekitar Rp 300.000 hingga Rp 400.000 per hari. Teh Sofia Teh Sofia berdiri pada September 2009 lalu di Surabaya, Jawa Timur. Konsepnya cukup unik karena teh seduh yang satu ini mengandalkan bunga rosella sebagai bahan baku dasarnya. Teh Sofia juga menawarkan banyak rasa seperti susu dan madu. Kala itu, teh rasa orisinal dihargai Rp 2.000 per cup. Sedangkan teh rasa susu dihargai Rp 2.500 per cup dan teh rosella madu dijual Rp 3.000 per cup. KONTAN pernah mengulas tawaran kemitraan ini pada Maret 2010 lalu. Kala itu, teh Sofia telah membuka lima gerai yang berlokasi di Surabaya dan Bali. Empat diantaranya milik mitra, dan satu gerai milik sendiri.
Namun, sejak awal tahun ini, tawaran kemitraan Teh Sofia tutup. Dyah Setyaningsih, pemilik Teh Sofia mengatakan, bisnis tehnya tak bisa lagi dikembangkan karena harga bahan baku rosella yang terus bergerak naik. "Awalnya, harga rosella masih Rp 50.000 per kilogram, tapi akhir tahun lalu sudah mencapai Rp 150.000 per kilogram," tutur Dyah. Akibatnya harga jual teh jadi naik. Maka, Dyah pun memutuskan menutup penawaran kemitraan Teh Sofia. Begitupun dengan empat mitranya juga menutup bisnisnya itu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri