JAKARTA. Kinerja pelaku industri pakan ternak tahun lalu kurang memuaskan. Meski pendapatan meningkat, tapi laba bersih emiten pakan ternak kompak menyusut. PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (
CPIN) misalnya. Tahun lalu
CPIN mencatatkan pertumbuhan penjualan 13,6%
year on year (yoy) menjadi Rp 29,1 triliun. Namun laba bersih merosot 32% (yoy) menjadi Rp 1,7 triliun. Analis Sucorinvest Central Gani Inav Haria Chandra, menilai, menyusutnya kinerja emiten pakan ternak dipengaruhi kenaikan harga bahan baku pakan ternak. "Tahun lalu rupiah melemah dan sebagian besar bahan baku seperti jagung dan kedelai masih impor," jelas Haria kepada KONTAN akhir pekan lalu.
Kinerja emiten pakan juga tekena dampak memburuknya bisnis anak ayam usia sehari atau day old chicken (DOC). Tahun lalu, emiten kelebihan pasokan, sehingga harga DOC anjlok menjadi Rp 2.500 - Rp 3.500 per ekor. Itu adalah harga terendah dalam lima tahun terakhir. Analis Buana Capital Michael Ramba memproyeksikan, harga DOC tahun ini pulih. Di kuartal I 2015, harga rata-rata DOC Rp 4.300 hingga Rp 4.700 per ekor. Meski naik, harga itu masih di bawah harga normal, yakni di atas Rp 5.000 per ekor. Meningkatnya harga DOC menunjukkan pasokan mulai normal. Hal itu didukung keputusan pemerintah memotong 20% porsi impor
grand parent stock (GPS) di 2015 menjadi 665.000 ekor. "Kami berharap, pasokan DOC normal pada akhir semester I-2015," tulis Michael dalam riset 16 April 2015. Analis Ciptadana Securities Andre Varian menyatakan, untuk mengatasi kesulitan di bisnis DOC, Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) memutuskan memotong pasokan DOC sebanyak 20%-30% di tahun ini. Namun, dia melihat kenaikan harga DOC belum bisa mengangkat penjualannya. Volume penjualan masih diprediksi menurun. Wakil Direktur Utama
JPFA Bambang Budi Hendarto sependapat dengan para analis. Meski harga DOC sudah di kisaran Rp 4.000 per ekor, bisnis
JPFA masih keteteran. Tantangan industri Sejak Februari-Maret lalu para produsen pakan harus memotong produksi 20%. Hal itu berimbas pada anggaran belanja modal alias
capital expenditure (capex) perusahaan yang cenderung mengecil dari tahun lalu. Tahun ini,
JPFA hanya mengalokasikan capex Rp 750 miliar. Jumlah ini lebih mini dibandingkan tahun lalu senilai Rp 1,6 triliun.
CPIN juga melakukan hal yang sama. Emiten ini hanya menganggarkan belanja modal Rp 2,3 triliun pada 2015. Padahal di tahun sebelumnya
CPIN mengalokasikan capex Rp 3 triliun. Di lini bisnis pakan ternak, Inav dan Michael menilai, bisnis ini masih berprospek bagus. Sebab permintaannya cukup kuat dibandingkan bisnis DOC. Selain itu, harga komoditas yang tengah menurun dinilai menguntungkan.
Meski margin sedikit terguncang lantaran rupiah melemah terhadap dollar AS, emiten menutupinya dengan mengerek harga. Michael memprediksi pada 2015-2016 emiten pakan ternak dapat menaikkan harga jual rata-rata sebesar 5%. Untuk
CPIN, Inav menilai, tahun ini perusahaan ini dapat merasakan untung dari ekspor makanan olahan ayam ke Jepang. "Setidaknya hal ini sudah bisa berkontribusi 5% terhadap total pendapatan," kata dia. Walaupun baru berkontribusi 5%, Inav menilai kontribusinya bakal terus meningkat setiap tahun. Secara keseluruhan, di tahun ini, emiten pakan ternak masih mendapat tantangan dari koreksi rupiah. "Pelemahan rupiah bisa menyebabkan forex loss," tambah Inav. Pasalnya, emiten memiliki utang dalam dollar AS cukup besar. Ketiga analis kompak memilih
CPIN sebagai perusahaan berprospek bagus di sektor pakan ternak. Alasannya,
CPIN merupakan market leader sehingga memiliki
pricing power yang kuat. "
CPIN juga mencatatkan gross margin paling besar di antara perusahaan lain," tutur Andre. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa