KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengatakan pada semester pertama 2017, pertumbuhan penjualan industri ritel Indonesia hanya 3,7%. Semester kedua ini, diproyeksikan tidak jauh beda dengan semester pertama. Alhasil, sepanjang tahun ini, pertumbuhan industri ritel tanah air, diproyeksi hanya tumbuh sekitar 6% hingga 7% atau lebih rendah dari tahun lalu yang tumbuh 9% dengan total penjualan hampir Rp 200 triliun. “Jadi, kalau 2017 ini, penjualan ritel kurang lebih sekitar Rp 215 trilun. Kayaknya pertumbuhannya lebih rendah dari tahun lalu, karena kami tinggal mengejar Natal dan Tahun Baru,"ujarnya, Rabu (15/11).
Ada pun penyebab lesunya industri ritel ini, menurut Roy adalah karena adanya perubahan pola prilaku konsumen kelas menengah ke atas dan lesunya daya beli konsumen kelas menegang ke bawah. Konsumen kelas menengah ke atas dengan pendapatan perkapita di atas US$ 3.600 tidak lagi melihat belanja sebagai gaya hidup (lifestyle). Kelompok ini lebih banyak menghabiskan uang untuk hal-hal yang bersifat leisure, seperti traveling dan kuliner. “Bagi orang yang berpendapatan menengah ke atas, belanja bukan merupakan suatu keharusan,” ujarnya. Sementara di sisi lain, menurut Roy kelompok kelas menengah ke bawah yang berjumlah sekitar 60% dari total jumlah penduduk Indonesia, daya belinya sedang lesu. Menurut Roy, lesunya daya beli kelas menengah ke bawah ini terjadi karena penyerapan belanja Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Umum dan Dana Desa masih rendah. “Penyaluran dana-dana itu belum maksimal, masih ada provinsi dan kabupaten yang 35%,” tukasnya. Rendahnya penyerapan dana transfer ke daerah ini, menurutnya menyebabkan produktifitas kelas menengah ke bawah menjadi rendah dan pada gilirannya tingkat konsusmi menajdi rendah. “Akhirnya hidup apa adanya saja," sahutnya. Kondisi ini, menurut Roy akan berlanjut pada tahun 2018 nanti dan bahkan hingga 2019. Apalagi, Indonesia pada tahun depan dan 2019 memasuki tahun politik. “Tahun depan belum (reobound), sampai dua tahun ini karena tahun politik, kami perkirakan masih sama, pertumbuhan single digit,” katanya. Menghadapi kondisi pasar yang lesu, sejumlah strategi akan dilakukan peritel. Menurut Roy, peritel akan memperbanyak kemitraan sebagai saluran distribusi. “Kemudian kami juga lakukan efisiensi,” jelasnya. Selain itu, peritel juga akan mengubah format ritel dari general store ke speciality store. Speciality store adalah peritel akan fokus menjual satu jenis barang yang memang sangat dibutuhkan pelanggan, misalnya hanya menjual akesoris dalam satu toko atau hanya menjual pakaian saja. “Kami harus merestrukturisasi bisnis lagi,” ujarnya.
Terkait shifting ke online, menurutnya peritel tidak terlalu mencemaskan. Saat ini, menurutnya sudah 80% anggota Aprindo yang sudah menggabungkan bisnis offlline dan online. Tak hanya itu, menurut Roy, porsi online di ritel juga hanya sekitar 1%. Sebab, kebanyakan penjualan online hanya untuk kebutuhan non pangan. Sementara, pangan kebanyakan masih dibeli secara offline. Terkait kondisi 2018, Yanti Nisro, Persiden Perhimpunan Riset Pemasaran Indonesia (Perpi) mengatakan berdasarkan riset prilaku konsumen yang dilakukan Perpi terhadap 1.220 responden di seluruh Indonesia, pada tahun depan konsumen masih akan membelanjakan uanganya lebih banyak, terutama kelompok professional kelas menangah ke atas dan anak-anak muda. Menurut riset Perpi, kelompok yang dominan membelanjakan uangnya adalah pekerja professional dengan penghasilan yang cukup, tetapi belum memiliki dibebani tanggungan tertentu, misalnya berkeluarga. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Markus Sumartomjon